Mataram (Suara NTB) – Tes kompetensi akademik atau TKA sebagai pengganti ujian nasional akan mulai dilaksanakan untuk kelas XII SMA/SMK pada bulan November 2025 nanti. TKA juga disebutkan tidak sebagai penentu kelulusan dan tidak wajib. Namun, kebijakan tidak mewajibkan TKA dikhawatirkan akan menurunkan motivasi belajar siswa.
“Kalau tidak wajib ini menurut saya kurang pas, artinya siswa boleh tidak ikut TKA. Khawatirnya, kalau tidak wajib, ada siswa yang tidak ada motivasi untuk belajar. Padahal salah satu efek ada TKA, memotivasi siswa untuk belajar,” ujar Praktisi pendidikan yang juga Ketua Umum Matematika Nusantara (MN), Moch. Fatkoer Rohman, S.Pd., M.Pd., Senin, 3 Maret 2025.
Penggantian UN menjadi TKA disampaikan Pelaksana Tugas (Plt.) Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Toni Toharudin. Melalui siaran persnya, ia juga menyebut TKA tidak wajib dan bukan penentu kelulusan.
Fatkoer menyampaikan, ada kemungkinan siswa yang tidak ikut TKA karena tidak berniat melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Apalagi TKA bertujuan pertimbangan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Ia mengkhawatirkan penurunan motivasi belajar siswa karena TKA tidak diwajibkan.
Meski demikian, ia setuju terkait TKA bukan sebagai penentu kelulusan saya sangat setuju. “Kalau dipakai sebagai penentu kelulusan, terjadi (dugaan) kecurangan seperti dulu,” ujar Fatkoer.
Fatkoer juga sangat setuju TKA sebagai bahan pertimbangan seleksi masuk PTN. Jika rencana itu benar dilaksanakan, maka rapor yang sebelumnya digunakan untuk pertimbangan masuk PTN kemungkinan akan diganti dengan TKA. Ia setuju dengan rencana itu, karena ada dugaan nilai rapor yang sengaja didongkrak.
“Artinya selama ini pertimbangan masuk PTN menggunakan rapor akan diganti dengan nilai TKA. Saya sangat setuju, karena selama ini menggunakan rapor, sering kali nilai siswa jor-joran, tinggi-tinggin, ugal-ugalan, nilai rapor jarang yang di bawah 80. Rapor sekarang ini sudah tidak ada maknanya, karena sudah mengalami fluktuasi atau inflasi, nilai 90 ke atas sudah hal biasa,” ujarnya.
Di samping itu, Kepala SMAN 1 Kayangan ini menambahkan, fungsi TKA itu untuk pemetaan, bukan untuk kelulusan siswa dari satuan pendidikan. Kalau dipakai sebagai kelulusan, maka khawatir akan timbul kecurangan seperti dahulu.
Ia sangat mengapresiasi dua fungsi TKA tersebut, terutama masuk ke jenjang lebih tinggi. Namun, masih ada kemungkinan timbul kecurangan, apalagi karena akan dipakai untuk masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Meski demikian, ia berharap tidak terjadi kecurangan.
Fatkoer menjelaskan, TKA hampir mirip dengan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) yang berlaku pada tahun 1980 sampai dengan 2002. Ebtanas juga bukan sebagai penentu kelulusan, hanya untuk pertimbangan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.
“Kita belajar dari Ebtanas, walau dulu itu tanpa proses komputer bisa berjalan dengan baik, dengan integritas. Waktu itu, Ebtanas itu sama sekali kita tidak dengar ada kecurangan. Mestinya sekarang bisa belajar dari Ebtanas, apalagi saat ini pasti berbasis komputer, otomatis kecurangan bisa diminimalisasi,” harapnya.
Ia berharap berharap TKA dapat terwujud, sehingga bisa memenuhi standar yang jelas, serta bisa dipakai masuk ke PTN bagi lulusan SMA atau masuk SMA bagi lulusan SMP. (ron)