spot_img
Minggu, April 27, 2025
spot_img
BerandaNTBLOMBOK TIMURTradisi "Maleman", Menyalakan "Dile Jojor" sebagai Simbol Turunnya Al-Qur'an

Tradisi “Maleman”, Menyalakan “Dile Jojor” sebagai Simbol Turunnya Al-Qur’an

Tradisi keagamaan dan budaya kerap melahirkan nilai-nilai luhur yang terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat. Salah satu tradisi yang masih dijalankan hingga kini adalah Maleman, sebuah ritual yang dilaksanakan pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.

Di Gumi Lombok, tradisi ini masih merata di berbagai desa, termasuk di Desa Songak. Tradisi Maleman dilakukan sebagai bentuk pengingat turunnya Al-Qur’an pada bulan Ramadan, khususnya di malam-malam ganjil yang diyakini sebagai waktu datangnya Lailatul Qadar.

Menurut Kepala Bidang Pencatatan Nilai Budaya dan Pemeliharaan Peninggalan Cagar Budaya, Saepul Hakkul Yakin, tradisi ini merupakan perpaduan antara nilai adat dan nilai keislaman yang diwariskan secara turun-temurun.

“Tradisi Maleman menjadi simbol bahwa Al-Qur’an turun sebagai cahaya penerang saat manusia berada dalam kegelapan,” ujarnya pada Sabtu malam, 22 Maret 2025.

Pelaksanaan Maleman berbeda di setiap daerah. Ada yang merayakannya hanya pada satu malam ganjil, sementara di Songak, tradisi ini dilakukan pada malam 21, 23, 25, 27, dan 29 Ramadan.

Dalam pelaksanaannya, setelah berbuka puasa, masyarakat mematikan lampu di rumah mereka dan menggantinya dengan Dile Maleman atau yang di beberapa desa disebut Dile Jojor. Lampu ini terbuat dari kapas yang dicampur dengan buah jarak, menghasilkan cahaya dengan aroma khas.

Lampu tradisional ini diletakkan di berbagai sudut rumah dan pekarangan, serta dinyalakan hingga padam dengan sendirinya. Barulah setelah itu, lampu-lampu listrik dapat dinyalakan kembali.

“Cahaya dari lampu ini menjadi simbol Al-Qur’an sebagai petunjuk hidup manusia, seperti yang tertulis dalam Al-Baqarah ayat 185 serta beberapa ayat lainnya di surah Al-Maidah, An-Nisa, At-Taghabun, dan Al-A’raf,” jelas Saepul.

Dahulu, pelaksanaan tradisi ini diawali dengan pemukulan beduk di masjid sebagai tanda dimulainya acara. Setelah itu, para kiyai membacakan doa, lalu masyarakat serempak menyalakan Dila Maleman sambil mengucapkan Aamiin bersama. Kini, tradisi ini mengalami sedikit pergeseran, di mana doa-doa dibacakan melalui pengeras suara masjid tanpa perlu menunggu beduk.

Selain itu, beberapa masyarakat juga mengunjungi makam keluarga mereka untuk menyalakan lampu ini sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.

Hingga kini, masyarakat Desa Songak masih menjaga tradisi ini dengan penuh khidmat. Selain menyalakan Dile Maleman, mereka juga membawa dulang berisi makanan ke masjid sebagai bekal berbuka puasa bersama.

Saepul berharap generasi muda terus melestarikan tradisi ini, bukan hanya sebagai pengingat turunnya Al-Qur’an, tetapi juga sebagai bagian dari identitas budaya masyarakat Lombok.

“Saya berharap, tradisi ini terus berjalan sebagai pengingat bahwa Al-Qur’an adalah cahaya yang menerangi kehidupan manusia,” pungkasnya. (rus)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -





VIDEO