spot_img
Senin, April 28, 2025
spot_img
BerandaBlogPemimpin, Realitas Sosial dan Lebaran

Pemimpin, Realitas Sosial dan Lebaran

Catatan: Agus Talino

SAHUR yang dingin. Hujan mengguyur sepanjang malam. Kadang ada yang “mencemaskan”. Angin kencang menghadirkan suara “pilu” pada daun dan ranting. Ada daun yang rontok dan dahan yang patah. Pohon besar tumbang menghalangi jalan. Jatuh ke bumi. Dihempas angin yang kencang. Lalu lintas terhalang sebelum pohon disingkirkan.

Di tempat lain. Sepasang suami istri tak nyenyak tidur.  Mungkin seng. Atap rumah tetangga ada yang pakunya lepas. Suara seng lumayan keras. Ketika angin menghantamnya. Seng berbunyi dalam waktu yang panjang. Sepanjang angin menggoyang. Putrinya yang tidur di kamar sebelah tak berani tidur sendiri. “Nyusup” masuk ke kamar orang tuanya. Suara seng yang dihantam angin membuatnya takut. Dia menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Tidurnya tetap saja tak lelap. Orang tuanya hampir tak berhenti bercakap sepanjang malam.

Sore tadi dagangannya tak banyak yang laku. Tak selaris sebelumnya. Tak banyak pembeli takjil yang datang. Banyak sisa dagangannya yang terpaksa dibawa pulang. Magrib sudah keburu datang. Dengan langkah sedikit gontai. Dia pulang ke rumah. Suaminya ikut membantu merapikan meja di lapak tempat jualan. Sisa dagangannya bisa untuk berbuka anak-anak dan dirinya.

Dagang seperti itu. Kadang laris. Kadang sepi pembeli. Hujan yang turun sore hari. Mungkin menjadikan banyak orang malas keluar rumah. Memilih berbuka dengan makanan yang tersedia di rumah saja. Tidak dengan takjil yang selama ini kerap dibeli.

Seorang ibu rumah tangga. Menunggu pedagang sayur keliling di ujung gang kampungnya. Dia batal ke pasar. Dia takut pasar “becek” setelah hujan tanpa henti sepanjang malam. Seorang ibu lainnya. Pedagang takjil. Pilihannya, tetap ke pasar. Kalau bahan-bahan masakannya dibeli pada pedagang keliling. Dia khawatir untungnya terlalu kecil. “Selisih harganya lumayan,” ujarnya.

Ramadan. Membuka peluang usaha. Di Kota Mataram ramai penjual takjil di sepanjang jalan pada banyak tempat. Di daerah-daerah lainnya juga seperti itu. Misalnya, di Kota Sumbawa Besar. Dan juga di ibu kota kecamatan.

Memilih menjual takjil pada Ramadan. Bukan tanpa alasan. Salah satunya, peminat takjil lumayan banyak. Lumayan untuk membantu ekonomi keluarga. Apalagi harga kebutuhan hidup tidak murah. Labanya bisa untuk membeli kebutuhan lebaran. Bisa untuk membeli pakaian lebaran untuk anak-anak. Bisa untuk menambah penghasilan keluarga.

Seorang sopir taksi sedikit mengeluh. Pada gerimis siang yang jatuh. Angin menggoyang dahan pada pohon yang tumbuh sepanjang jalan Kota Mataram.  Sepanjang Ramadan. Penumpang taksi tak terlampau ramai. Alhamdulillah. Seminggu  terakhir penumpang tak sesepi hari-hari sebelumnya. Dia harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Dia memiliki empat anak. Yang tertua sudah menikah. Tiga anaknya yang lain masih sekolah. Masih butuh banyak biaya. Penghasilan sebagai sopir taksi tak menentu. Katanya, sebagai sopir taksi. Tak ada gaji tetap. Sistemnya, persentase. Kalau penumpang banyak. Penghasilannya, lumayan. Pernah juga harus berutang. Karena penumpang sepi.

Hidup kadang-kadang tak mudah. Tak sedikit orang harus berjuang keras. Banting tulang memenuhi kebutuhan keluarga. Dan ada juga yang pontang panting mencari pekerjaan. Tak gampang mendapatkan pekerjaan. Seorang suami dari keluarga kecil. Dia bersyukur istrinya bekerja. Anaknya satu. Dia sudah cukup lama kehilangan pekerjaan. Sebelumnya dia bekerja pada perusahaan kontraktor. Karena proyeknya sudah rampung.  Dia tak lagi dipekerjakan. Padahal kebutuhan banyak. Gaji istri tak cukup untuk memenuhi seluruh kebutuhan. Bayar cicilan rumah. Bayar listrik. Dan kebutuhan makan sehari-hari.

Pada setiap menjelang lebaran. Banyak perantau mudik. Lebaran bersama keluarga di kampung. Akibatnya, arus mudik bisa menjadi padat. Pemudik bisa “berebut” transportasi. Tugas pemimpin memastikan transportasi umum aman dan nyaman. Mengawasi kelayakan moda transportasi. Memantau transportasi laut tak  mengangkut penumpang melampaui kapasitas. Risikonya besar. Apalagi hari-hari ini. Cuaca kurang bersahabat.

Penting pemimpim hadir pada setiap “kesusahan” dan “kesulitan” masyarakat. Kehadiran pemimpin bisa menjadi “energi” bagi masyarakat untuk menaklukan tantangan hidupnya. Katakanlah, ketika menjelang lebaran. Pemimpin datang ke pasar-pasar. Memantau secara langsung harga barang kebutuhan pokok (Bapok). Dan jika terjadi kenaikan harga yang memberatkan masyarakat. Pemimpin segera mengambil langkah menstabilkan harga. Tidak sebatas “muncul” saja. Apalagi sebatas “pencitraan”. Tidak melakukan apa-apa untuk membantu pembeli dan penjual. Penjual dagangannya laris. Pembeli, harga kebutuhannya terjangkau.

Alhamdulillah. Harga Bapok di NTB menjelang lebaran cukup stabil. Kalau pun ada jenis Bapok yang harganya naik. Naiknya tidak terlampau tinggi. Harga cabai yang sebelumnya sempat menyentuh angka Rp 210.000/ kg. Kini harganya turun menjadi Rp 120.000/kg.

Seperti diberitakan Suara NTB. Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi NTB, Berry A Harahap, di ruang kerjanya, Jumat, 21 Maret 2025 menyampaikan hasil survei terbaru BI.  Daya tahan ekonomi NTB masih bagus. Berbeda dengan tren nasional. Daya beli masyarakat secara umum mengalami tekanan. Akibat ketidakpastian global.

Masing-masing pemimpin punya “gaya”. Di Jawa Barat. Gubernur Dedy Mulyadi hampir tak pernah alpa hadir pada “persoalan” yang dihadapi masyarakatnya. Dan terpublikasi media. Salah satu kebijakannya yang disambut antusias warganya adalah  menghapus tunggakan pajak dan denda kendaraan bermotor. Akibatnya, sejak dimulai pada Kamis, 20 Maret 2025. Warga berbondong-bondong mendatangi Kantor Samsat setempat.  Di Bekasi misalnya,ada warga yang menunggak pembayaran pajak selama 11 tahun.  Seharusnya denda yang  dibayar lebih dari Rp 2,5 juta. Karena ada kebijakan tersebut. Warga bersangkutan hanya membayar sekitar Rp 500 ribu.

Risiko menjadi pemimpin. Tidak boleh  “diam”. Ketika melihat “kesulitan” masyarakat. Harus melakukan sesuatu agar masyarakat bisa keluar dari kesulitannya. Misalnya, soal jembatan yang putus. Jalan yang rusak. Kalau ada. Segera diselesaikan. Tak boleh “ditonton” saja. Apalagi dalam waktu yang lama. Artinya, pemimpin harus punya prioritas pada kepemimpinannya. Tidak sebatas berwacana. Asyik dengan acara-acara seremonial. Pidato sana. Pidato sini. Boleh-boleh saja begitu. Tetapi janji-janji politik harus tetap diingat dan segera ditunaikan. Kesulitan yang dihadapi masyarakat dibantu jalan keluarnya.

Banyak realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Pemimpin harus benar-benar paham kondisi “lapangan”. Informasi yang dimiliki harus lengkap dan akurat. Maksudnya, agar solusinya tepat. Pemimpin tidak boleh “terjebak” mengambil keputusan yang sesungguhnya bukan “pintu” keluar dari masalah yang dihadapi masyarakat. Katakanlah, soal perampingan OPD dan pembentukan tim percepatan pembangunan di Pemprov NTB. Kalau sudah dikaji secara mendalam. Dikalkulasi dan dihitung secara cermat. Kalau memamg itu pilihan terbaik. Dan bisa menjadi “knop” menyelesaikan masalah yang ada. Silakan saja. Meski risikonya,  ada beban biaya yang harus ditanggung daerah. Yang penting, tim tersebut adalah putra-putri terbaik yang keahliannya sangat dibutuhkan daerah. Kehadirannya akan menjadikan NTB hebat. Dan kontribusinya sesuai dengan beban biaya yang harus ditanggung daerah. Semoga. *

RELATED ARTICLES
- Advertisment -





VIDEO