Selong (Suara NTB) – Pawai ogoh-ogoh yang digelar di pelosok Desa Sajang, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur menjadi sorotan di tengah keterbatasan, pada Jumat (28/3/2025).
Ketua Banjar, I Wayan Widyanata saat ditemui, pada Jumat (28/3/2025) menjelaskan, pawai ogoh-ogoh yang digelar di Dusun Kampung Baru, Desa Sajang, Kecamatan Sembalun. Dengan keterbatasan dan letak geografis yang berbeda di pelosok desa, ia tetap melaksanakan acara parade jelang Tapa Brata.
“Kita di sini, sudah empat kali melaksanakannya, meskipun dengan sederhana,” tuturnya.
Ia menjelaskan, warga dari berbagai kalangan, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, bekerja sama membuat ogoh-ogoh dari bahan sederhana seperti bambu, kertas, dan kain. Pembuatan ogoh-ogoh ini melibatkan kreativitas tinggi dengan memadukan unsur budaya lokal yang terkadang terinspirasi dari cerita rakyat.
“Proses pembuatan ogoh-ogoh ini dari dua bulan yang lalu, kami persiapkan dengan tema tokoh legenda Nyi Roro Kidul,” ujar Widiyana.
Ia menilai, dengan mengangkat tema tokoh legenda Indonesia yang dipercaya sebagai penguasa lautan selatan ini menyisipkan pesan-pesan moral tentang menjaga kelestarian alam dan budaya. “Filosofisnya, sikap kelembutan kita terhadap perempuan,” jelasnya.
Diketahui, tambah Widyanata, pawai ogoh-ogoh di pelosok desa biasanya tidak sekompleks dan sebesar yang ada di kota-kota besar, namun justru memiliki pesona tersendiri. Pasalnya, di Desa Sajang tersebut, ia hanya minoritas kecil. Kendati demikian, warga dengan penuh antusias membawa ogoh-ogoh hasil karya mereka dan mengaraknya keliling di sekitar Dusun Kampung Baru. “Masyarakat kami di dusun ini cuma 40 KK,” sebut Widyanata.
Menurutnya, parade ogoh-ogoh ini menjadi ajang untuk mempererat tali persaudaraan antar-warga, di samping menjadi sarana untuk melestarikan tradisi turun-temurun.
Widyanata mengatakan, warga yang turut serta dalam pawai ini mengenakan kostum tradisional Bali, lengkap dengan alat musik membuat suasana semakin meriah. Pawai ini juga menjadi ajang silaturahmi yang penuh kegembiraan, di mana masyarakat setempat ikut berpartisipasi membantu mensukseskan kegiatan tersebut. “Dari Teman-teman kita dari umat Muslim juga turut membantu, baik lewat tenaga maupun materi,” jelasnya.
Ia juga menyebutkan, pawai ogoh-ogoh di pelosok bukan hanya sekadar ritual budaya, tetapi juga sebuah wujud kebersamaan masyarakat dalam menjaga toleransi antar umat beragama. Ini menjadi bukti, meskipun berada jauh dari hiruk pikuk kota, semangat merayakan budaya dan kearifan lokal tetap hidup dan terus diwariskan kepada generasi mendatang. “Kami juga dorong anak-anak muda di sini untuk aktif terlibat,” terang Widyanata.
Ia berharap, perayaan ogoh-ogoh di Desa Sajang terus dilakukan ke depannya lebih meriah dari sebelumnya. (pan)