Pemerintah berencana membuka kembali moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi. Rencana pengiriman PMI ke Arab Saudi ini setelah Presiden Prabowo Subianto menyetujui dicabutnya moratorium yang sudah berlangsung lebih dari 10 tahun. Rencana pemerintah ini menimbulkan pro dan kontra, khususnya terkait perlindungan bagi PMI yang bekerja di sana.
MORATORIUM pengiriman PMI ke Arab Saudi telah diberlakukan Pemerintah Indonesia sejak tahun 2015. Kebijakan ini diberlakukan karena banyaknya kasus yang menimpa PMI, termasuk PMI asal NTB.

Ada yang pulang ke Indonesia dalam kondisi hanya tinggal nama (meninggal). Ada juga yang pulang dalam kondisi cacat, karena disiksa majikan selama bekerja di Arab Saudi. Tidak hanya itu, ada PMI ilegal yang dideportasi Pemerintah Arab Saudi dengan memanfaatkan visa umrah atau haji untuk mencari pekerjaan ke Negara Minyak tersebut. Hal inilah yang menjadi dasar pemerintah saat itu melakukan moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi.
Kini moratorium itu akan dicabut dan dibuka kembali oleh Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto bekerja sama dengan Pemerintah Arab Saudi. Alasannya, karena adanya perbedaan kepemimpinan Putra Mahkota Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) yang menjanjikan perlindungan terhadap PMI.
Pemerintah Indonesia sudah membahas rencana pencabutan moratorium pengiriman PMI ke Arab Saudi. Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding mengatakan keputusan ini diambil setelah adanya jaminan perlindungan bagi para PMI dan gaji yang lebih baik dari Kerajaan Arab Saudi.
Ia menyebut, ada beberapa pihak yang memprotes tindakannya terkait pembukaan moratorium penempatan pekerja migran Indonesia di Arab Saudi. Namun, menurut Karding, pelindungan, regulasi maupun kultur di Arab Saudi sudah berubah.
“Seperti di Arab Saudi itu saya diprotes, tidak boleh menempatkan pekerja migran,” kata Karding, dalam pernyataan pers Kementerian P2MI di Jakarta, seperti dilansir dari Antara, Senin (24/3/2025).
Meski demikian, ujarnya, Arab Saudi sudah berubah dengan 10 tahun lalu. Bahkan, di Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan PMI di luar negeri. ‘’Kultur sudah mulai berubah, regulasi berubah, banyak hal yang berubah,” kata dia.
Karding menilai, pembukaan moratorium dengan Arab Saudi harus dibuka untuk kemajuan Indonesia di sektor pekerja migran. “Saya kira kalau kita tidak mau mencoba lagi, maka kita akan jalan di tempat,” kata dia.
Ia menegaskan pihaknya tidak hanya bertanggung jawab terhadap upaya penempatan PMI, tetapi juga fokus pada upaya pelindungan.
Keputusan ini tentu menjadi angin segar, terutama bagi warga NTB yang selama ini menjadikan Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, sebagai tujuan utama untuk bekerja. Sebagai salah satu daerah dengan jumlah PMI terbanyak, NTB memiliki banyak tenaga kerja yang siap bekerja di sektor domestik, perhotelan, maupun konstruksi di Arab Saudi. Selama ini pengiriman uang dari PMI yang berangkat secara ilegal ke Arab Saudi menjadi terbesar kedua setelah Malaysia.
Di sisi lain, rencana Pemerintah Indonesia mencabut moratorium pengiriman pekerja migran ke Timur Tengah, terutama Arab Saudi semakin menguat. Berbagai pembahasan terkait rencana pencabutan moratorium, termasuk dengan perwakilan Pemerintah Arab Saudi hingga lintas kementerian pun telah dilakukan.
Dikutip dari laman bp2mi.go.id, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) melakukan koordinasi dengan Kementerian Koordinator bidang Politik, dan Keamanan (Kemenkopolkam), Selasa (18/3/2025).
Menteri P2MI, Abdul Kadir Karding menyampaikan dari pertemuan itu disepakati beberapa poin. Ia menjamin terkait tata kelola baru di moratorium penempatan PMI. Rencana pembukaan moratorium ini turut memberikan lapangan kerja, menambah devisa negara dan membantu pertumbuhan ekonomi secara tidak langsung.
Adapun beberapa poin yang disepakati bersama Kemenkopolhukam. Pertama, menindaklanjuti arahan Presiden Prabowo Subianto pada Jumat 14 Maret 2025 untuk membuka kembali moratorium penempatan PMI pekerja domestik di Arab Saudi. Selain itu, Kementerian/Lembaga yang hadir dalam rapat koordinasi ini mendukung sepenuhnya pembukaan penempatan PMI ke Timur Tengah khususnya Arab Saudi.
Isu perlindungan PMI, ungkapnya, khususnya perempuan dan anak perlu menjadi perhatian yang serius. Arab Saudi dijadikan pilot project dalam penempatan pekerja migran di Timur Tengah untuk isu tersebut dapat diperkuat dalam nota kesepahaman. Nota kesepahaman yang akan dibuat mengikuti sasaran utama dalam Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2024 tentang Penguatan Tata Kelola Penempatan dan Pelindungan pekerja migran terkait dengan penempatan dan pelindungan pekerja migran dengan menitikberatkan sinergitas antara kementerian dan Lembaga;
Adanya perubahan regulasi yang signifikan di Arab Saudi, ujarnya, perlu dipertimbangkan untuk pembukaan penempatan, serta dengan penguatan pelindungan melalui sistem terintegrasi antara SiskoPMI dengan Musaned.
Penempatan PMI ke Arab Saudi dapat menjadi momentum dan contoh bagi rencana pembukaan pada negara tujuan penempatan potensial lainnya di Timur Tengah, seperti Uni Emirat Arab yang juga mengalami moratorium selama ini. Dalam penyusunan nota kesepahaman, ujarnya, Kementerian P2MI akan berkoordinasi dan berkolaborasi dengan Kementerian Luar Negeri serta kementerian/lembaga terkait;
Meski demikian, ungkapnya, yang tidak kalah penting mengevaluasi regulasi yang terkait dengan PMI, termasuk Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 291 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di Kerajaan Arab Saudi Melalui Sistem Penempatan Satu Kanal dan Permenaker Nomor 260 Tahun 2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada pengguna perseorangan di negara kawasan Timur Tengah. (ham/ant)