Selong (Suara NTB) – Wakil Bupati (Wabup) Lombok Timur (Lotim), H. Muh. Edwin Hadiwijaya, menegaskan pentingnya aksi nyata untuk mencegah dan meminimalisir kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) di daerah tersebut. Menurutnya, upaya pencegahan tidak boleh hanya berhenti pada sosialisasi peraturan perundang-undangan, melainkan harus diikuti dengan langkah konkret.
Hal tersebut disampaikan Wabup H. Muh. Edwin Hadiwijaya saat membuka Sosialisasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) di Kantor Bupati Lombok Timur, Kamis, 17 April 2025.
Kegiatan ini dihadiri berbagai pemangku kepentingan, termasuk Lembaga Perlindungan Anak (LPA), Lembaga Pengembangan Sumberdaya Mitra (LPSDM), Organisasi Perempuan, tokoh agama, serta perwakilan Organisasi Perangkat Daerah (OPD).
“Tentu tidak hanya sosialisasi, tetapi action-action, salah satunya seperti yang disebut Pak Kadis adalah adanya rumah aman,” ujarnya.
Ia berharap kolaborasi antarlembaga dapat memperkuat program perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan di Lotim.
Wabup menyadari bahwa kekerasan seksual dipengaruhi berbagai faktor, seperti pendidikan, ekonomi, dan sosial. Oleh karena itu, upaya pencegahan harus melibatkan kebijakan, penegakan hukum, serta peran komunitas. Wabup menekankan kekerasan terhadap perempuan dan anak akan berdampak buruk bagi generasi mendatang.
Selain itu, Wabup Edwin juga menyoroti peran media dalam membangun kesadaran publik. Menurutnya, sudut pandang media dalam memberitakan kasus kekerasan dapat memengaruhi persepsi masyarakat dan mendorong perubahan perilaku.
Dengan komitmen bersama dari pemerintah, lembaga masyarakat, dan media, Lotim berharap dapat menekan angka kekerasan seksual dan menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi perempuan dan anak.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Lotim, H. Ahmat, memaparkan data kekerasan terhadap anak dan perempuan yang terus meningkat. Pada 2023, tercatat 162 kasus kekerasan anak, sedangkan pada 2024 angkanya naik menjadi 189 kasus. Sementara itu, kasus kekerasan terhadap perempuan melonjak dari 41 kasus (2023) menjadi 83 kasus (2024).
UU TPKS dinilai sebagai langkah penting dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Selain merinci bentuk-bentuk kekerasan, undang-undang ini juga memberikan sanksi tegas, seperti pada Pasal 10 tentang pemaksaan perkawinan anak. Pelaku bisa dihukum penjara hingga sembilan tahun atau denda Rp200 juta, termasuk bagi yang mengatasnamakan budaya atau memaksa korban menikah dengan pelaku kekerasan. (rus)