Giri Menang (Suara NTB) – Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang diperoleh Lombok Barat (Lobar) kalah dengan jumlah DBHCHT Kota Mataram. Lobar memperoleh alokasi Rp30 miliar tahun ini. Kendati jumlahnya meningkat dibanding tahun lalu, namun jumlah ini jauh lebih sedikit dibanding Kota Mataram.
Dari jumlah DBHCHT inipun lebih besar disumbang oleh dari budidaya, sedangkan dari sisi cukai usaha industri pengolahan sangat minim. Untuk menggenjot DBHCHT ini, OPD pun perlu meningkatkan Intervensi terhadap sektor hilir atau Industri kecil menengah komoditas tembakau ini.
Sekretaris Dinas Pertanian Lobar, Muhamad Taufik, SP.,M.Ling., yang dikonfirmasi terkait hal ini mengatakan sejauh ini jumlah petani tembakau di Lobar yang sudah lengkap datanya mencapai 1.500 orang.
“Tapi ada yang belum menyerahkan data lengkap, harus ada NIK dan lainnya bisa mencapai di atas 2.000 orang, sebutnya.
Dari luas areal pengembangan tembakau juga bertambah tiap tahun. Tahun lalu mencapai 739 hektare, bertambah dari tahun sebelumnya (2023) 600 hektare.
Lebih lanjut dikatakan, petani pembudidaya tembakau ini berkontribusi besar bagi daerah, mendongkrak dari sisi DBHCHT. Hanya saja dari sisi budidaya produksi ini hampir tidak dilihat atau kecil. Yang terbesar, kata dia, cukainya dari usaha tembakau.
Contoh Kota Mataram, kata dia, bisa mendapatkan DBHCHT lebih tinggi padahal lahan pengembangan tembakau nyaris tidak ada. “Tapi dia banyak pengolahan tembakau di sana, IKM tembakau itu yang banyak,” katanya.
Dari rumus hitungan penentuan DBHCHT ini, 40 persen produksi dan 60 persen cukai. Kemudian ada banyak faktor yang mempengaruhi. Kalau melihat besaran DBHCHT mengacu hitungan tersebut, dari budidaya petani lebih besar kontribusinya terhadap DBHCHT yang diperoleh Lobar. “Lebih besar kontribusi dari budidaya, petani. Kalau cukai itu kalau tidak salah Rp1 miliar,” imbuhnya.
Kemudian dari sisi besaran DBHCHT juga meningkat dari Rp19 miliar menjadi Rp30 miliar. Bahkan ada rencana tambahannya. Kalau saja sektor pengolahan tembakau ini ditingkatkan maka alokasi DBHCHT diyakini juga meningkat. Untuk sektor hilirisasi pengolahan tembakau sendiri bukan kewenangan Distan. Pihaknya hanya membantu mendorong petani mengurus NIB, karena mereka kurang tahu soal sistem NIB ini. “Kita sudah 30 an petani urus NIB, surat izin usaha karena mereka ingin membuat bungkus kecil-kecil,” kata dia.
Di samping itu pihaknya membantu peralatan perpajangan. Untuk usaha olahan tembakau, ada di OPD lain seperti Disperindag dan Diskop sam UMKM. “Kalau intervensi itu salah kita, karena itu tupoksi OPD lain,” imbuhnya.
Untuk usaha olahan tembakau tidak harus yang berkelas industri besar, seperti membuat rokok. Namun sesuai arahan Bea Cukai, bisa tahap awal dengan membuat usaha kecil seperti tembakau iris. Seperti usaha di Kota Mataram banyak membuat tembakau kantongan yang dijual ke pedagang – pedagang kecil di daerah ini, sehingga itu berpengaruh pada besaran DBHCHT ini.
Untuk itu ia berharap agar pelaku usaha tembakau ini perlu difasilitasi bagiamana mendapatkan cukai, tentu dampaknya terhadap usaha dan DBHCHT. Ia juga berharap agar SIHT bisa segera terealisasi, sehingga bisa meningkatkan DBHCHT. Di samping gencar melakukan tindakan penertiban rokok Ilegal melalui Gempur Rokok Ilegal. (her)