Selong (Suara NTB) – Prevalensi jumlah kasus nikah usia anak di NTB disebut tertinggi di Indonesia. Hal ini sesuai dengan hasil Susenas 2024 menyebut 14.96 persen kasus pernikahan usia anak di NTB. Dari total angka absolut se Indonesia, 618 ribu kasus nikah usia anak. NTB 14 persen berarti sekitar 92 ribu.
Demikian dikemukakan Muhammad Zubedy, Spesialis Perlindungan Anak United Nations Children’s Fund (UNICEF) Indonesia usai acara Gawe Gubuk di Desa Lendang Nangka bersama dengan Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi NTB, Hj. Sinta Iqbal, Selasa, 20 Mei 2025.
“Jumlah itu pun yang tercatat, yang tidak tercatat kan banyak,” ungkapnya.
Kabupaten tertinggi di NTB adalah Sumbawa, Bima dan Kabupaten Lombok Timur (Lotim). Penyebab banyaknya kasus perkawinan anak ini adalah tingkat pemahaman orang tua masih rendah terhadap dampak. Hal ini karena kemungkinan besar pendidikan yang rendah. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi juga rendah, termasuk masalah kemiskinan.
Selanjutnya, UNICEF khusus di Lotim telah melakukan kajian menggunakan dua sampel desa. Ditemukan, banyak kasus nikah usia anak ini diselesaikan dengan cara pernikahan siri. Menikah tanpa dokumen persetujuan dari pemerintah. “Kita temukan 75 persen yang tidak disetujui di dispensasi nikah itu melakukan nikah siri,” tambahnya.
Dari sisi syariah, nikah siri dianggap sah. Tetapi, karena tak tercatat di pemerintah, sehingga tidak bisa mendapatkan akses pelayanan. Warga yang nikah siri ini jelas kehilangan hak-haknya. Nikah siri yang terjadinya tak semuanya pada anak. Tapi sebagian besar merupakan usia anak. Nikah siri ditegaskan Zubedy bukan solusi, karena mudaratnya banyak. ‘’Hasil kajian rentan persoalan lain,’’ ujarnya.
UNICEF sudah mengeluarkan risalah kebijakan dari hasil studi yang dilakukan. Salah satunya dengan memperkuat monitoring dari berbagai tingkatan. Peran dari Kemenag, BKKBN dan termasuk pemerintah desa.
Seluruh desa diketahui sudah punya Peraturan Desa soal larangan nikah usia anak. Perda dan Perdes selama ini diakui mandul, karena tidak diimplementasikan dengan baik. Tapi, paling tidak sudah punya cantolan hukum terlebih dulu sebagai landasan. Salah satunya dengan adanya aturan bisa memastikan anak dapat akses pendidikan yang baik. Setidaknya bisa menyelesaikan sampai tingkat SMA sederajat. Hal ini berarti anak lulus SMA sederajat sudah berusia 18 tahun. Persoalannya, semua yang lulus SMP dan SMA sederajat makin menurun.
Ketua TP PKK Provinsi NTB, Hj. Sinta menjelaskan sampai saat ini jumlah kasus pernikahan anak yang masih tinggi itu bukan berita yang membahagiakan. TP PKK menyatakan cukup prihatin dengan kasus tersebut.
Guna menangani kasus nikah usia anak ini tidak bisa kita sendiri. Tidak saja hanya pemerintah. Perlu libatkan banyak sektor. “Pemerintah, LSM dan utamanya dari masyarakat sendiri,” ucapnya.
TP PKK ini mencoba mengetuk hati masyakarat. “Masyarakat terketuk hatinya untuk mau memberikan edukasi kepada adik-adik kita supaya tidak lagi melakukan pernikahan usia anak dan menganggap pernikahan anak ini adalah solusi permasalahan yang dimiliki,” ungkapnya.
Dari sisi regulasi diakui istri Gubernur NTB Dr. H. Lalu Muhamad Iqbal ini sudah cukup bagus. Hanya saja dianggap ketika dibenturkan dengan larangan, nikah secara siri dianggap solusi. Untuk itu, TP PKK coba menggandeng tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. “Ketika ada yang tidak mengizinkan, masih ada yang membantu supaya bisa melakukan pernikahan usia anak,” terangnya.
Saat ini, seiring dengan hadirnya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), nikah usia anak tidak diperbolehkan dengan dalil apapun. Sudah ada preseden jelas menegaskan, yang membantu melakukan pernikahan usia anak akan dijerat tindak pidana. (rus)