Di balik keramaian kota tua Ampenan, berdiri sebuah bangunan tua yang menyimpan jejak sejarah kolonial yang belum banyak diketahui publik. Bangunan tersebut adalah bekas kantor Nederlands Indische Handelsbank atau Bank Dagang Belanda. Kantor ini dibangun pada akhir abad ke-19 sebagai bagian dari pelaksanaan politik etis oleh pemerintah kolonial Belanda di Hindia Belanda, termasuk di Pulau Lombok.
Ketua Masyarakat Adat Sasak, Dr. H.L.Sajim Sastrawan menjelaskan bahwa politik etis merupakan kebijakan balas budi Belanda terhadap rakyat pribumi setelah masa panjang eksploitasi. Kebijakan ini mencakup bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Belanda membuka ruang bagi anak-anak pribumi untuk mengenyam pendidikan, meskipun tetap dipisahkan dari anak-anak Eropa. Di bidang ekonomi, mereka mendirikan institusi seperti pegadaian dan bank di berbagai wilayah, termasuk Lombok, ujarnya, Minggu, 25 Mei 2025.
Salah satu bentuk implementasi kebijakan ini adalah pendirian Nederlands Indische Handelsbank di Ampenan. Bank ini dibangun sekitar akhir tahun 1800-an, dan bertujuan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi masyarakat pribumi yang mulai berkembang, terutama untuk menampung hasil pertanian dan memfasilitasi transaksi ekonomi.
Kata Sajim, meski dirancang oleh pihak Belanda, pembangunan fisik bangunan ini sepenuhnya dikerjakan oleh tenaga kerja lokal dari Lombok. Material yang digunakan pun berasal dari daerah setempat, seperti pasir dari Jangkuk, kapur dari Sekotong, kayu dari Lingsar.
Pasirnya dicuci berhari-hari, kapurnya diendapkan, bata merahnya dibersihkan satu per satu. Prosesnya sangat teliti, itulah kenapa bangunannya masih kokoh hingga kini, katanya.
Dikatakan bahwa bank ini beroperasi hingga masa pendudukan Jepang pada 19421943. Setelah Jepang masuk, aktivitas bank perlahan dihentikan dan bangunan itu ditinggalkan. Meski sempat digunakan kembali dalam berbagai bentuk, seperti Kantor Bank Indonesia, kafe/bar, hingga tempat jual-beli barang eks vila dan hotel. Bangunan ini tetap mempertahankan bentuk aslinya dan kini ditetapkan sebagai cagar budaya.
Secara arsitektural, bangunan ini mengadopsi gaya Indische. Perpaduan arsitektur Kolonial Belanda dengan elemen tropis lokal. Fasadnya memiliki dua pintu masuk utama, jendela-jendela besar simetris dengan teralis besi, serta atap limasan khas Indonesia. Di dalam bangunan terdapat bunker yang dahulu diyakini sebagai ruang penyimpanan aset bank, meski kini aksesnya tertutup.
Namun sejarah bangunan ini juga menyimpan sisi gelap dari kebijakan politik etis. Meskipun tampak memberi ruang bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, di baliknya tersembunyi eksploitasi baru. Pemerintah kolonial memberlakukan pajak yang tinggi dan kerja paksa (kerja rodi) yang hanya dibebankan kepada rakyat jelata. Sementara kaum bangsawan, pejabat, dan tokoh agama dibebaskan. Pemungutan pajak dan pengerahan kerja paksa dilakukan melalui tangan-tangan penguasa pribumi sendiri.
Sebagai langkah untuk meredam praktik lintah darat yang merugikan rakyat, pemerintah Belanda juga mendirikan rumah gadai dan beberapa bank, seperti Volkscredietbank, Balisch Volkscredietbank, dan Nederlands Indische Handelsbank. Keberadaan bank ini juga berfungsi sebagai instrumen monopoli Belanda atas hasil bumi Pulau Lombok, sekaligus sebagai solusi atas memburuknya perekonomian kolonial pasca kebangkrutan VOC.
Sajim menekankan pentingnya pelestarian bangunan bersejarah ini. Bangunan ini bukan sekadar sisa masa lalu. Ia adalah saksi sejarah tentang bagaimana ekonomi rakyat dibentuk, bagaimana kebijakan kolonial dijalankan, dan bagaimana masyarakat kita bertahan. Kita harus menjaganya, pungkasnya.(hir)