Masa depan tembakau Virginia Lombok, komoditas strategis yang menjadi ‘’benteng’’ tembakau Virginia dunia dan penyumbang ratusan miliar rupiah bagi daerah, dihadapkan pada tantangan serius. Perubahan iklim yang tak menentu dan minimnya edukasi serta perhatian pemerintah terhadap petani swadaya menjadi sorotan utama.
BEBERAPA waktu terakhir, tanaman tembakau Virginia di Lombok, khususnya di wilayah selatan, sangat terganggu akibat pola hujan yang tidak menentu. Hal ini tentu sangat mengganggu tembakau yang sudah ditanam petani. Sementara di satu sisi, pemerintah sangat mengandalkan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) dari tanaman ini.
“Beberapa waktu terakhir ini hujan kadang-kadang mengguyur. Padahal karakteristik tanah di bagian selatan itu tanah liat. Jadi kalau tergenang bisa lama susut airnya. Itu yang menyebabkan tembakau mati. Karena tembakau jenis tanaman yang tidak tahan terhadap air,” ungkap Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) NTB, Sahminuddin pada Ekbis NTB, pekan kemarin.
Fenomena matinya tanaman tembakau akibat genangan air ini, imbuhnya, terjadi setiap tahun. Ironisnya, hal ini disebabkan oleh keengganan petani untuk membuat saluran air yang memadai.
“Biasanya petani menganggap kalau tahun ini tidak hujan, ia tidak membuat saluran air besar dan malah dianggap sia-sia, buang tenaga dan biaya. Padahal, cuaca sekarang tidak menentu, sehingga pas hujan besar tiba-tiba datang, baru kelabakan,” kata Sahminuddin.
Ia menyayangkan perhitungan ekonomi ini akibat minimnya penyuluhan kepada petani. Padahal, kalau membuat saluran air dengan biaya tidak sampai Rp 1 jutaan. Bisa menyelamatkan tembakau yang harganya puluhan juta kalau terjadi hujan deras.
Permasalahan minimnya edukasi ini, menurut Sahminuddin, terutama menimpa petani swadaya yang jumlahnya cukup besar, hampir menyamai petani binaan perusahaan. “Petani swadaya ini rawan, dan minim edukasi,” ungkapnya.
Berbeda dengan petani binaan yang mendapatkan pendampingan dari petugas lapangan (PL) perusahaan mitra, petani swadaya seringkali terabaikan. Sahminuddin juga menyoroti hilangnya program evaluasi dan pembinaan yang rutin dilakukan di masa lalu.
“Harusnya ada edukasi setiap tahun, sekarang kan hampir tidak ada program evaluasi yang dilaksanakan,” keluhnya.
Dahulu, evaluasi perjalanan tembakau dilakukan setiap bulan Desember. Dilanjutkan dengan pemanggilan perusahaan mitra terkait rencana pembelian, target luas tanam, dan evaluasi produksi bibit. Bahkan, kebutuhan bahan bakar untuk omprongan (pengeringan tembakau) pun dievaluasi rutin. Sejak tahun 2011 lalu tidak ada lagi.
Jika dilihat, tembakau Virginia Lombok memiliki kontribusi ekonomi yang sangat besar. NTB adalah satu-satunya di dunia yang menjadi sentra tembakau Virginia berkualitas tinggi. Setiap tahun, komoditas ini menyumbang DBH-CHT hingga Rp400 miliar ke daerah.
Namun, Sahminuddin merasa kontribusi besar petani tembakau tidak sebanding dengan perhatian yang mereka terima dari pemerintah. ‘’Tidak adil. Di sini pemerintah harusnya hadir. Bukan sekadar edukasi saja. Ini malah yang diomongkan pemerintah daerah itu hanya PAD-PAD (Pendapatan Asli Daerah). Tapi apa yang diberikan kepada petani tembakau,’’ tanyanya.
Secara strategis, komoditas tembakau Virginia dipastikan akan terus berlanjut mengingat perannya dalam memenuhi kebutuhan nasional.
Sepertiga kebutuhan tembakau nasional ini adalah Virginia. Misalnya kebutuhan tembakau nasional 300 ribu ton per tahun, minimal 100 sampai 150 ribu adalah tembakau Virginia. Sementara produksi Virginia tembakau nasional tidak lebih dari 50 ribu ton. Akibatnya harus impor.
Padahal, jika tembakau Virginia ini benar-benar diperhatikan dan dikembangkan, NTB memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama di tingkat nasional, bahkan mengurangi ketergantungan impor.
Tantangannya kini ada pada bagaimana pemerintah daerah dapat lebih proaktif dalam memberikan edukasi, pendampingan, dan menciptakan iklim yang lebih kondusif bagi petani tembakau. Terutama petani swadaya, di tengah tantangan perubahan iklim yang semakin nyata.
Hal senada disampaikan Lalu Sahabudin, petani tembakau Virginia yang juga Ketua APTI Lombok Timur (Lotim). Menurutnya, tanaman tembakau tidak boleh hilang. Petani siap berusaha untuk menghadapi setiap tantangan yang terjadi di setiap musimnya. Termasuk memasuki musim tanam 2025 ini.
Tantangan cuaca ekstrem disebut membayang-bayangi budidaya tembakau. Sesuai prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), tahun ini cenderung basah. Sementara tembakau merupakan jenis tanaman yang tidak terlalu banyak membutuhkan air.
Menghadapi kondisi cuaca seperti itu, Lalu Sahabudin menyarankan petani membuat drainase sawah yang lebih dalam, khususnya di wilayah selatan Lotim. “Drainasenya harus bagus biar gampang buang air,” ungkapnya. Hal ini sudah dibuktikan ketika cuaca ekstrem beberapa tahun lalu.
Selanjutnya, tidak kalah penting menjadi salah satu kunci sukses bertani tembakau adalah pilihan penggunaan pupuk. Jenis pupuk yang digunakan harus tepat. Pengalaman Sahabudin ketika cuaca ekstrem menggunakan pupuk ZA Petri, SP36 Petri dan Petroningrat. “Pemupukan pertama pakai ZA dan SP36 baru kemudian yang kedua pakai Petroningrat,” ucapnya.
Menurutnya, saat kondisi alam memberikan lebih banyak air yang dibutuhkan tanaman tembakau adalah kalium (K), bukan natrium (N). Kandungan N pada pupuk jangan terlalu tinggi agar tanaman tembakau bisa selamat.
Hal senada dikemukakan Amaq Torik, petani tembakau di Sakra. Dia mengatakan tembakau ini memang banyak tantangannya. Meski begitu, petani siap bertarung menghadapi segala tantangan tersebut. Petani membutuhkan inovasi di setiap musim tanam agar bisa menghasilkan tanaman yang sesuai diharapkan. ‘’Beda cuaca, beda pola penanganannya,’’ ungkapnyya.
Harapannya, musim tanam tahun ini bisa lebih baik hasilnya dibandingkan tahun sebelumnya. Terpenting katanya adalah, ketika panen harga pembelian setidaknya sama seperti tahun lalu yang cukup menggembirakan petani.
Soal teknik budidaya dikatakan petani sudah sangat paham. Bagaimana cara menghadapi cuaca ekstrem ini sudah dipelajari dari pengalaman musim tanam sebelumnya. (bul/rus)