Mataram (Suara NTB) – Temuan BPK RI terhadap utang Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) NTB yang mencapai Rp247,97 miliar harus disikapi segera oleh Pemprov NTB. Anggota DPRD NTB, H. Muhammad Aminurlah bahkan meminta dan mendorong agar dilakukan audit investigasi terhadap temuan BPK tersebut.
‘’Kita minta dan mendorong agar ada audit investigasi terhadap persoalan ini,’’ ujarnya di Mataram, Minggu, 22 Juni 2025.
Menurut Aminurlah, besarnya utang tersebut merupakan akibat dari lemahnya pengawasan dan pembinaan Pemprov NTB terhadap pengelolaan keuangan di RSUP NTB. ‘’Selama ini pengawasan dan pembinaan belum optimal. Sehingga RSUP menanggung utang ratusan miliar yang bisa menimbulkan defisit operasional dan kesulitan likuiditas ke depan,’’ tegas anggota DPRD NTB Dapil VI Kabupaten Bima Kota Bima dan Dompu ini.
Ia menilai kondisi keuangan yang tidak sehat di RSUP dapat berdampak langsung pada terganggunya pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, DPRD NTB meminta Gubernur NTB untuk mengambil langkah serius dalam melakukan pengawasan dan pembinaan.
“Harus ada rasionalisasi belanja yang melebihi anggaran. Gubernur harus benar-benar mengendalikan dan memperhatikan kondisi rumah sakit. Kami di DPRD ingin melihat sejauh mana kepatuhan terhadap tata kelola keuangan yang ada,” ujarnya.
H. Muhammad Aminurlah juga secara tegas meminta agar BPK melakukan audit investigatif terhadap utang tersebut. Menurutnya, hal ini penting karena sudah ada indikasi ketidakpatuhan dalam pengelolaan.
“Audit investigasi penting karena kita ingin tahu, utang ini untuk apa? Apakah benar untuk kebutuhan rumah sakit, atau ada kebocoran dalam retribusi? Kalau untuk obat-obatan, seharusnya sudah ada anggaran tersendiri seperti dari BPJS,” katanya.
Terpisah, Ketua Fraksi Partai Gerindra di DPRD NTB, Sudirsah Sujanto menyampaikan bahwa temuan BPK terkait utang di RSUD NTB tersebut dinilai akan menggangu kualitas pelayanan rumah sakit kepada masyarakat. Karena itu pihaknya meminta Pemprov segera mengambil upaya-upaya pembenahan di RSUP.
“Terkait dengan temuan BPK yang Rp247 miliar di RSUP NTB itu, itu kan menimbulkan defisit operasional dan mengalami likuiditas sesuai dengan yang disampaikan BPK kemarin. Jadi ini sangat mengganggu pada pelayanan masyarakat. Sehingga harus segera dievaluasi,” katanya pekan kemarin.
Sudirsah menyebutkan bahwa Pemprov NTB memiliki waktu 60 hari untuk melaksanakan rekomendasi atas temuan BPK tersebut. Sehingga menurutnya, waktu yang ada harus betul-betul di maksimalkan untuk menyelesaikan rekomendasi-rekomendasi dari BPK, terutama temuan di RSUP.
“Jadi sudah jelas terkait dengan LHP yang sudah disampaikan oleh BPK itu, selambat-lambatnya 60 hari. Setelah LHP itu disampaikan dan diserahkan, itu segera harus ditindaklanjuti oleh Pak Gubernur dengan catatan yang ada,” kata Sudirsah.
Selain fokus pada RSUD NTB, H.Muhammad Aminurlah juga menyoroti pelaksanaan Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik tahun 2024 pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) NTB yang dinilai tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ia meminta agar Kepala Dinas segera memproses semua bentuk kelebihan pembayaran, kekurangan volume pekerjaan, hingga progres proyek yang belum selesai. Ia menekankan bahwa penyelesaian DAK 2024 sangat penting agar fasilitas pendidikan bisa segera dimanfaatkan.
“Langkah konkret belum terlihat. Ini harus diusut, di mana masalahnya dan apa kendalanya. Jangan sampai siswa dirugikan karena proyek lamban,” ujarnya.
Ia mencontohkan, proyek infrastruktur pendidikan di wilayah Bima yang hingga kini belum rampung. Akibatnya, proses belajar mengajar menjadi terganggu karena gedung belum bisa digunakan.
“Ini harus jadi perhatian gubernur, apalagi Indeks Pembangunan Manusia -IPM- kita masih tergolong rendah,” ujarnya.
Ia juga menekankan pentingnya profesionalitas dalam pengelolaan dunia pendidikan di NTB ke depan.
Menurutnya, jika tidak ada perubahan manajemen dan pengawasan yang signifikan, maka ketertinggalan sektor pendidikan akan terus terjadi.
“Ke depan, dalam mengelola pendidikan, profesionalitas harus dikedepankan. Jangan ada lagi pembiaran terhadap pelanggaran atau ketidaksesuaian aturan,” katanya.
Sebelumnya dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas keuangan Pemprov NTB tahun 2024, BPK RI memberikan sejumlah catatan, di antaranya temuan kelebihan belanja sebesar Rp247,97 miliar di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi NTB. Termasuk, pelaksanaan DAK fisik swakelola pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTB tidak memadai dan tidak sesuai ketentuan.
“BPK itu bukan penyidik, penyidik itu adalah Polri dan Kejaksaan. Tapi BPK itu adalah ‘’dokter’’. ‘’Dokter’’ ini dicintai dan disayangi oleh orang sakit dan ingin sembuh maupun orang sehat tapi tidak ingin sakit. Tapi dokter ini kalau hanya memberikan resep tentu tidak akan menyelesaikan masalah. Makanya opini WTP ini adalah resep, sehingga rekomendasi ini lah harus ditindaklanjuti,” kata Ketua Komite I BPK RI, Nyoman Adhi Suryadnyana pada penyerahan WTP atas laporan pemeriksaan keuangan Pemerintah Provinsi NTB tahun 2024 di Gedung DPRD NTB, Kamis, 19 Juni 2025. (ndi/ant)