Mataram (Suara NTB) – Rencana pemerintah pusat menjadikan pengemudi ojek online (ojol) sebagai pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menuai beragam reaksi di Kota Mataram. Ada yang menyambutnya sebagai angin segar, namun ada pula yang menyimpan kekhawatiran.
Salah seorang pengemudi ojol yang mangkal di depan Lombok Epicentrum Mall, Salamudin, menyatakan dukungannya terhadap rencana tersebut. Menurutnya, selama ini status para pengemudi tidak pernah jelas, padahal jumlah mereka sangat banyak dan kontribusinya nyata di sektor transportasi.
“Saya sih setuju-setuju aja, kalau kami diakui sebagai UMKM. Artinya ada kepastian hukum. Bisa dapat subsidi BBM, akses KUR, pelatihan juga. Selama ini dibilang pekerja bukan, dibilang pengusaha juga enggak,” ujar Salamudin saat diwawancarai, Minggi, 22 Juni 2025.
Namun tidak semua pengemudi berpandangan sama. Suherman, rekan seprofesi yang sudah lima tahun menjadi mitra aplikasi transportasi daring, menyuarakan kekhawatiran. Baginya, status UMKM justru bisa menjadi langkah mundur dalam hal perlindungan tenaga kerja.
“Kalau jadi UMKM, kami dianggap pengusaha kecil. Padahal kami ini kerja layaknya karyawan. Bawa orderan seharian, hujan-panas. Tapi nanti nggak ada jaminan kerja, nggak ada BPJS, nggak ada pensiun,” katanya, Sabtu, 21 Juni 2025.
Suherman juga menilai bahwa fasilitas seperti KUR dan subsidi hanya menjadi solusi jangka pendek. “Masalahnya bukan cuma soal uang, tapi soal perlindungan dan kejelasan status,” pungkasnya.
Tanggapan-tanggapan itu muncul menyusul pernyataan Menteri Koperasi dan UKM, Maman Abdurrahman, yang mengungkapkan bahwa pihaknya tengah menyiapkan Peraturan Menteri (Permen) untuk menetapkan status hukum pengemudi ojol sebagai UMKM. Ia mengatakan saat ini kementeriannya sedang melakukan koordinasi lintas kementerian, termasuk dengan Kementerian Perhubungan, Kominfo, Kemenkumham, serta Kementerian Ketenagakerjaan, karena isu ini berkaitan erat dengan ketenagakerjaan.
Maman menegaskan bahwa dasar hukum dari rencana tersebut mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021. Meski begitu, ia mengakui bahwa beleid ini tidak akan selesai dalam waktu dekat, karena pembahasannya memerlukan koordinasi dan harmonisasi yang matang antar-lembaga.
Ia juga mengungkapkan bahwa dari sekitar lima juta pengemudi ojol yang terdaftar secara nasional, hanya sekitar 30 hingga 40 persen yang aktif penuh waktu. Sisanya menjadikan pekerjaan sebagai ojol hanya sebagai pekerjaan paruh waktu. Oleh karena itu, jika para pengemudi harus diperlakukan sebagai pekerja formal, hanya 15 hingga 20 persen yang bisa terakomodasi. Menurutnya, menjadikan mereka sebagai UMKM bisa menjadi jalan tengah yang realistis.
Sebagai UMKM, pengemudi ojol nantinya akan berhak memperoleh fasilitas seperti subsidi BBM dan LPG 3 kilogram, akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan bunga 6 persen per tahun, pelatihan peningkatan kapasitas, serta insentif pajak UMKM sebesar 0,5 persen. Maman menambahkan, jika pengemudi dikategorikan sebagai pekerja formal, maka beban pajak yang dikenakan bisa lebih besar.
Sebagian pengemudi menilai langkah ini memberi kepastian hukum, sementara lainnya khawatir status UMKM justru mengaburkan hak-hak pekerja.
Sehingga, pengemudi ojol di Mataram berharap kebijakan ini tidak sekadar menjadi label administratif, melainkan benar-benar memberi kepastian hukum, akses terhadap subsidi, pelatihan, dan perlindungan sosial. Mereka juga ingin dilibatkan dalam proses penyusunan aturan, agar kebijakan yang dihasilkan berpihak pada kenyataan di lapangan. (hir)