Mataram (Suara NTB) – Sidang eksepsi atau keberatan dari dua terdakwa kasus meninggalnya Brigadir Muhammad Nurhadi berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Senin (3/11/2025).
Dalam sidang dengan agenda pembacaan nota keberatan tersebut, kedua terdakwa kompak meminta agar majelis hakim membebaskan keduanya dari dakwaan jaksa.
“Dakwaan yang disusun jaksa penuntut umum (JPU), dibangun atas dasar asumsi dan imajinatif semata,” ucap kuasa hukum terdakwa YG, Hijrat Prayitno di hadapan majelis hakim.
Adapun dia menyebut bahwa dakwaan JPU disusun secara tidak cermat, tidak jelas, kabur, dan tidak lengkap. Oleh sebab itu, Hijrat meminta agar majelis hakim menyatakan surat dakwaan JPU atas kliennya batal demi hukum.
Senada dengan Hijrat, Kuasa Hukum Terdakwa AC, Lanang Bratasuta juga mengajukan hal yang sama. “Menyatakan dakwaan JPU batal demi hukum atau setidaknya menyatakan dakwaan JPU tidak dapat diterima,” sebut Bratasuta.
Ia juga turut meminta agar kliennya itu dapat bebas seluruhnya dari jeratan hukum. “Menetapkan pemeriksaan terhadap terdakwa tidak dilanjutkan. Memerintahkan terdakwa segera dilepaskan dari tahanan,” ucapnya.
Kedua terdakwa juga meminta majelis hakim untuk memulihkan hak kedua terdakwa dalam kemampuan kedudukan, harkat, dan martabatnya.
Poin Keberatan Kedua Terdakwa
Kuasa hukum Terdakwa YG menyoroti hasil rekonstruksi yang berlangsung di temapt kejadian perkara (TKP), yakni di Vila Tekek Resort Beach House di Gili Trawangan, Lombok Utara. Menurut Hijrat, ada beberapa hal yang tidak dimasukkan JPU dalam surat dakwaan.
“Salah satu contoh dari hasil rekonstruksi pada adegan 22 A. Itu ada terdakwa dibopong ke dalam kamar oleh saksi Aris dan almarhum (Brigadir Nurhadi) karena hilang kesadaran,” ucapnya.
Ia menilai isi surat dakwaan jaksa terkesan mengada-ada, terutama terkait tuduhan bahwa Kompol Yogi memiting leher korban. Menurutnya, tidak satu pun keterangan saksi di tahap penyidikan yang menyebut adanya perbuatan tersebut.
“Kami tanyakan, dari mana peristiwa itu jaksa mendapatkan fakta itu, dari saksi siapa, dari bukti-bukti apa, tidak ada satu pun dari rekonstruksi yang menyebutkan ada pemitingan,” katanya.
Sementara itu kuasa Hukum AC, Wayan Swadarna mengatakan, sejak awal penyidikan hingga perkara disidangkan, terdapat perubahan penerapan pasal yang berulang dan tidak terjelaskan. Hal itu, menurutnya, membuat pihaknya kesulitan menyusun pembelaan.
Dalam surat perintah penangkapan dan penahanan, Aris awalnya disangkakan dengan pasal tunggal Pasal 369 KUHP tentang pemerasan. Namun, dalam proses penyidikan muncul tambahan pasal yakni Pasal 338 jo. 55 KUHP dan Pasal 221 jo. 55 KUHP.
Yang menjadi sorotan, kata Wayan, adalah hilangnya Pasal 359 KUHP yang sebelumnya dijadikan dasar penetapan tersangka dan penahanan, tetapi tidak tercantum dalam surat dakwaan JPU.
“Ini problem mendasar. Bagaimana seorang bisa ditahan dengan pasal tunggal, tapi pasal yang dipakai menahan itu justru hilang dalam dakwaan. Itu melanggar asas kepastian hukum,” tandasnya.
Sebagai informasi, jaksa mendakwa kedua terdakwa melanggar Pasal 338 dan/atau Pasal 354 ayat (2) dan/atau Pasal 351 ayat (3) dan/atau Pasal 221 juncto Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Mereka terancam 15 tahun penjara.
Kini kedua terdakwa kembali menjalani penahanan di Rumah Tahanan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) NTB. (mit)

