Giri Menang (suarantb.com) – Fraksi Perindo DPRD Lombok Barat meminta antara TAPD dan Banggar duduk bersama mencari titik temu terkait polemik Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS ) 2026. Sebab tidak ada ketentuan yang memberikan kewenangan mutlak pada bupati dalam hal ini TAPD dan DPRD menolak KUA-PPAS secara sepihak.
“Maka proses penyesuaian ini (KUA-PPAS) harus duduk bersama, antara tim TAPD Pemda dalam hal ini dengan tim Banggar, sampai pada akhirnya menemukan kata sepakat,” kata Ketua Fraksi Perindo, Ass. Prof. Dr. Syamsuriansyah, Rabu (5/11) kemarin.
Sebab kalaupun diambil langkah terburuk diambil oleh Pemkab, adalah menyusun draf Peraturan Kepala Daerah (Perkada) maka kata dia, Fraksi Perindo menolak Perkada itu. “Kami menolak Perkada itu, karena apa? Karena kita akan betul-betul mementingkan kepentingan rakyat, bayangkan kalau langkah itu diambil maka semua program pemerintah tidak akan bisa jalan,” tegasnya.
Begitu pun di DPRD, yang juga sebagai mandat dari rakyat. Ketika dia tidak bisa melaksanakan semua program, maka buntu dan mati di mata rakyat. “Karena itu fraksi Perindo ada di tengah-tengah, menolak Perkada, dan meminta kedua lembaga untuk duduk bersama sampai pada pengambilan keputusan untuk kesepakatan bersama untuk kepentingan masyarakat Lobar,” imbuhnya.
Pembangunan masyarakat Lobar kata dia jauh lebih diutamakan daripada ego masing-masing. “Itu statement kami di fraksi Perindo,” sambungnya sambil mengajak semua pihak harus lebih bijaksana, karena rakyat lebih membutuhkan Pemkab dan DPRD.
Sementara itu, Fraksi Gerindra Lalu Irwan menyatakan bahwa perselisihan ini adalah bagian dari menjalankan fungsi konstitusional dewan. Menanggapi pernyataan Bupati Lobar yang menilai temuan Banggar tidak benar, pihak legislatif menyatakan hal tersebut sah-sah saja. Namun ia menegaskan peran krusial Banggar dalam meneliti setiap draf anggaran.
“Kami memiliki temuan dan pendapat sendiri, dan ini adalah fungsi dasar kami. Apa gunanya Banggar dan lembaga DPRD jika draf anggaran tidak bisa direvisi atau diubah?” ujar Lalu Irwan.
Terkait Belanja Pegawai (Bapeg) ia membantah klaim Bupati yang menyatakan tidak ada kenaikan Bapeg jika anggaran dikonversikan dengan total APBD 2025 (asumsi Tunjangan Kinerja Daerah atau TKD tidak dipotong).
“Klaim tidak adanya kenaikan ini kami bantah keras. Memang persentase mungkin tidak naik, tetapi secara jumlah, secara nominal, ada kenaikan,” tegas Lalu Irwan.
Data Banggar menunjukkan angka Belanja Pegawai awal 2025 adalah Rp947 miliar. Namun kemudian meningkat menjadi Rp985 miliar di Anggaran Murni 2025. Artinya, terjadi peningkatan sebesar Rp38 miliar. Kenaikan nominal ini menjadi masalah serius mengingat total APBD Lobar justru mengalami penurunan signifikan, dari Rp2,4 triliun menjadi Rp1,9 triliun.
Selain itu, Lalu Irwan mempertanyakan ke mana perginya efisiensi yang telah disepakati dari proses merger Organisasi Perangkat Daerah (OPD). “Kami sudah sepakat dengan eksekutif akan ada efisiensi sebesar 15 miliar dari merger OPD. Kenapa yang terjadi justru ada kenaikan anggaran setelah merger dilaksanakan?” tanyanya, mencurigai adanya ketidaksesuaian antara kebijakan struktural dan realisasi anggaran.
Ia juga menyoroti pos anggaran lain yang dianggap “sangat besar” dan luput dari sorotan Bupati, yaitu Belanja Tidak Terduga (BTT). Pos BTT ini, menurutnya, seharusnya menjadi perhatian utama publik.
“Anggaran BTT ini sungguh mencengangkan. Kami melihat kenaikan hingga 200 persen dari anggaran Murni 2025. Dari yang semula Rp 10 miliar, kini melonjak menjadi Rp 30 miliar,” ungkapnya seraya menambahkan dana BTT sebesar itu seharusnya bisa dialihkan ke pos yang lebih bermanfaat langsung bagi masyarakat.
Titik buntu (deadlock) pembahasan ini, menurut politisi asal Gerung itu, bersumber dari penolakan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) untuk membuka data pendukung. Banggar meminta TAPD untuk secara transparan membuka data-data terkait ASN, seperti jumlah pegawai, gaji, TPP, kenaikan pangkat, dan pensiun, agar dapat diverifikasi secara independen oleh Banggar.
“Data yang kami pertanyakan tidak pernah dibuka oleh TAPD. Kami mengajak mereka, mari buka data ASN itu di meja rapat agar semua bisa diverifikasi. Faktor tidak diberikannya data ini adalah salah satu faktor terjadinya deadlock,” jelas politisi Gerindra itu kembali.
Harapannya adalah agar anggaran dapat dinikmati semaksimal mungkin oleh masyarakat. Hal ini dikaitkan dengan kecilnya alokasi untuk Belanja Modal (Bamol), yakni di kisaran 6 persen, jauh di bawah aturan ideal 40 persen. Untuk menaikkan persentase Belanja modal dari angka 6 persen yang sangat rendah itu, Banggar menyarankan solusi yang sederhana: “Anggaran Belanja Tidak Terduga (BTT) dapat digeser, begitu juga dengan anggaran Belanja Barang dan Jasa,” Imbuhnya.
Sementara itu, Bupati Lobar H. Lalu Ahmad Zaini secara tegas menolak permintaan legislatif untuk merevisi draf anggaran, terutama yang menyoroti tingginya proporsi Belanja Pegawai (belanja operasi) pasca-pemotongan besar-besaran terhadap alokasi anggaran daerah.
Menurutnya, tuntutan revisi tidak melihat akar masalah yang sebenarnya, yaitu pemotongan substansial pada total anggaran daerah.
LAZ membantah narasi biaya pegawai telah melonjak tidak wajar. Persentase Belanja Pegawai yang kini terlihat tinggi di KUA PPAS adalah konsekuensi logis dari penyusutan anggaran secara keseluruhan, bukan akibat adanya kenaikan nominal yang signifikan pada gaji atau tunjangan pegawai.Anggaran daerah Lobar yang semula dipatok sebesar Rp2,4 triliun (sebagai asumsi total anggaran awal), kini telah mengalami pemotongan drastis hingga hanya menyisakan Rp1,9 triliun.
“Teman-teman menganggap bahwa biaya pegawainya tinggi. Kan anggarannya dipotong. Total anggarannya kan kecil. Pegawai ini sama biayanya. Tidak ada yang berubah, kalaupun naik karena ada yang naik pangkat dan lain sebagainya, kan itu harus memang diakomodir. Nggak ada yang berubah,” tambahnya.
Ia memberikan ilustrasi perhitungan yang mendasari pembelaan tersebut. Jika diasumsikan biaya pegawai tetap berada di kisaran Rp1 miliar, maka persentase belanja tersebut otomatis akan melambung tinggi. “Kalau terus Rp1 miliar itu biaya pegawai, kan persentasenya itu Rp1 miliar itu kan dari Rp1,9 miliar, bukan dari Rp2,4 miliar. Pasti dia naik,” tegasnya.
Fenomena ini, lanjutnya, adalah efek domino dari kebijakan fiskal di tingkat pusat dan bukan merupakan kegagalan perencanaan oleh Pemda.
Pemerintah Lobar bersikukuh bahwa nilai nominal untuk Belanja Pegawai tetap terjaga sesuai kebutuhan, dan hanya rasio persentase terhadap total APBD yang mengalami perubahan drastis akibat dana transfer yang berkurang. Pihak eksekutif menyayangkan ketidakmampuan dewan dalam memahami gambaran besar pemotongan anggaran dari Pemerintah Pusat. “Bagaimana yang mau direvisi, gitu lho. Seharusnya, teman-teman itu melihat itu. Ini kan dipotong,” kritiknya.
Selain isu Belanja Pegawai, pihak eksekutif juga menyoroti tuntutan-tuntutan lain dari dewan yang dinilai tidak realistis dan tidak konsisten. Salah satu tuntutan tersebut adalah mengenai alokasi Belanja Publik (Belanja Modal) yang diharapkan mencapai 40 persen dari total APBD, sesuai dengan amanat Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) yang ditargetkan tercapai penuh pada 2027.
“Di satu sisi juga maunya Belanja Publik 40 persen, enggak mungkinlah dalam kondisi seperti ini. Dari mana mau diambilkan?” kritiknya.
Saat dikonfirmasi mengenai ancaman dari beberapa fraksi yang akan menunda (deadlock) pembahasan KUA-PPAS jika eksekutif tidak mengajukan revisi draf, pihak eksekutif menunjukkan sikap yang tidak gentar. “Nggak apa-apa, nggak apa-apa, kan kita sudah siap kok. Tidak masalah,” jawabnya santai.
Bupati LAZ menunjukkan ketegasan yang tidak bisa ditawar lagi dalam urusan anggaran ini.”Keputusan saya sudah bulat,” katanya, menunjukkan bahwa draf yang disodorkan adalah yang terbaik dan paling realistis di tengah kondisi anggaran saat ini.
Ia juga menyinggung adanya tekanan untuk mengakomodir pegawai non-database secara keseluruhan, sementara di sisi lain ada larangan untuk melakukan hal tersebut, yang dinilai menunjukkan inkonsistensi. Pihak eksekutif menekankan bahwa polemik anggaran harus berfokus pada kepentingan rakyat secara menyeluruh, bukan didasari oleh kepentingan personal atau kelompok tertentu.
“Yang penting nggak ada rekayasa, nggak ada kepentingan di dalamnya. Coba mari kalau kepentingan sama-sama menghadapi kepentingan rakyat. Di dalamnya itu hanya kepentingan rakyat, bukan personal. Jangan terus ada kepentingan rakyat, personal dibungkus dengan rakyat, gitu lho,” pungkasnya seraya mengajak dewan kembali pada semangat akuntabilitas dan transparansi. Terakhir Bupati menegaskan bahwa eksekutif tetap terbuka untuk negosiasi konstruktif. (her)

