PEMPROV NTB melalui Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) akan mengoptimalkan potensi lahan seluas 280 ribuan hektar untuk mendukung gerakan diversifikasi (penganekaragaman) pangan.
“Kita akan kembangkan kawasan pertanian pangan berkelanjutan, ada lahan cadangan kita sekitar 280-an ribu hektar. Untuk pengembangan kawasan pertanian pertanian pangan berkelanjutan,” keta Kepala Distanbun Provinsi NTB, M. Taufieq Hidayat pada Ekbis NTB akhir pekan kemarin.
Penganekaragaman produksi pangan ini, menurutnya, agar NTB tidak terlalu bergantung pada padi dan jagung. Di tengah besarnya tantangan produksi padi dan jagung, karena perubahan iklim yang ekstrem.
Menurutnya, pemerintah akan berupaya menyiapkan insentif kepada petani untuk mengoptimalkan produksi pada lahan yang dimaksud untuk menanam komoditas pangan seperti umbi-umbian dan gandum-ganduman.
“Di tengah tantangan produksi padi karena cuaca ekstrem, kita harus mengembangkan komoditas pangan lain yang tidak memerlukan ketersediaan air yang banyak. Seperti singkong, ubi jalar, sorgum dan pangan lainnya yang bisa mengganti beras,” tambahnya.
Ancaman krisis pangan dan cuaca ekstrem, menurutnya, mengharuskan untuk menyiapkan produksi komoditas pangan yang tahan dengan tantangan kekeringan. Ketergantungan terhadap konsumsi nasi menurut Taufieq harus dikendalikan.
Konsumsi beras NTB saat ini berada pada peringkat empat tertinggi nasional. Rata rata konsumsi beras nasional sebanyak 80 Kg/kapita/orang/tahun. Sementara di NTB, konsumsi beras di atas 90 Kg/kapita/orang/tahun.
Produksi padi NTB, lanjut Taufieq pada tahun 2023 sebanyak 1,5 juta ton. Jika dikonversi menjadi beras sekitar 900an ribu ton. Sementara kebutuhan di dalam daerah tak sampai 600 ribu ton/tahun. Artinya, ada surplus sekitar 300 ribu ton lebih setahun.
Sementara itu, produksi singkong di NTB dalam lima tahun terakhir mengalami penurunan, di tengah surplusnya produksi padi dan jagung. Produksi umbi-umbian dan gandum-ganduman ini yang akan terus didorong, sehingga masyarakat tetap memiliki pilihan pangan selain beras.
“Kalau produksi pangan selain padi ini bisa ditingkatkan, produksi padi dan jagung kita juga akan terus meningkat, surplusnya itu bisa dibukakan pasarnya hingga ekspor. Sehingga fenomena ketika produksi melimpah harga rendah bisa dikendalikan. Dengan begitu, harga jual produksi komoditas pangan ini akan tetap tinggi, petani juga tetap bersemangat memproduksi,” tambahnya.
Untuk mendorong pola konsumsi pangan yang beragam, ketika produksi sudah tersedia, bahkan melimpah, tinggal OPD terkait lainnya bisa melakukan hilirisasi.
“Misalnya bagaimana menghasilkan beras campur jagung, campur umbi-umbian. Jangan didorong masyarakat untuk mengonsumsi hanya jagung, singkong, sorgum, atau sejenisnya sebagai pengganti beras. Tapi harus ada cara agar konsumsi beras tidak seperti dihilangkan begitu saja. Kita diversifikasi produk-produk pertaniannya di hulu, di hilir juga diversifikasinya bisa berjalan,” demikian Taufiq. (bul)