spot_img
Senin, Januari 13, 2025
spot_img
BerandaHEADLINENilai Tinggi Jadi Acuan, Masa Pengabdian Honorer Tak Jadi Patokan

Nilai Tinggi Jadi Acuan, Masa Pengabdian Honorer Tak Jadi Patokan

Panitia penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sudah mengumumkan kelulusan untuk tenaga teknis dan tenaga kesehatan 31 Desember 2024 lalu. Namun, pengumuman ini sangat mengecewakan tenaga honorer yang lama mengabdi. Pemerintah juga masih membuka seleksi PPPK tahap II. Namun, pelamar PPPK tahap II ini pesimis bisa lolos. Kenapa ?

MENGABDI sebagai tenaga honorer sejak akhir tahun 2004 bukanlah waktu yang pendek. Jika selama 20 tahun mengabdi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), jika lulusan Perguruan Tinggi (PT), maka posisi eselon III bagi tenaga teknis dan tenaga kesehatan sudah menanti. Sebaliknya, jika tenaga guru, maka posisi kepala sekolah pun sudah di tangan.

Namun, sayang selama 20 tahun mengabdi hanya sebagai tenaga honorer dan hingga awal tahun 2025 masih belum ada kejelasan nasib. Berharap diangkat sebagai PPPK tenaga teknis, nakes atau guru penuh waktu bagi sebagian besar tenaga honorer ini banyak yang pupus. Nilai tinggi saat seleksi PPPK beberapa waktu lalu harus tersingkir oleh sejumlah kebijakan yang menurut tenaga honorer ini tidak berpihak.

Banyak di antara mereka yang memiliki nilai tinggi sangat berharap bisa mengisi formasi yang memang ‘’sengaja’’ disediakan di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tempat mereka mengabdi sebagai tenaga honorer. Namun, ketika saat pengumuman tiba, yang lulus sebagai PPPK bukanlah mereka, melainkan tenaga honorer yang berasal dari OPD lain. Dan ironisnya, nilai mereka lebih rendah dibandingkan dengan tenaga honorer yang murni berada di OPD tersebut.

Mereka sebelumnya sangat berharap bisa lulus PPPK, karena sebelumnya dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN RB) menyampaikan, jika yang akan lulus PPPK adalah berdasarkan nilai tertinggi saat seleksi kompetensi bidang. Namun, ketika pengumuman, justru panitia penerimaan PPPK melakukan sinkronisasi antara lama mengabdi dan status pengabdian mereka sebagai honorer.

Seperti disampaikan Lalu Setia, salah satu tenaga honorer yang mengabdi selama 20 tahun dan tidak lulus PPPK. Bagi mereka, ujarnya, mereka tidak mempermasalahkan jika dilakukan sinkronisasi atau adanya afirmasi pengabdian dengan nilai, asalkan sesuai dengan ketentuan. Sebaliknya, yang terjadi yang dinyatakan lulus masa pengabdiannya lebih singkat dan nilainya lebih singkt dibandingkan dengan tenaga honorer yang lulus PPPK tersebut.

Diakuinya, kekecewaan tidak hanya pada dirinya. Menurutnya, pada grup WhatsApp (WA) Pegawai Tidak Tetap (PTT) lingkup Pemprov NTB banyak yang kecewa dan ketika bertanya pada sekretaris dinas atau badan tempat mereka honorer, tidak memuaskan mereka.

Menurutnya dari penjelasan yang diterima dari pihak OPD, jika yang sekarang ini diterima sebagai PPPK adalah PTT yang masuk dalam Kategori (K) II dan sudah terdata dalam database Badan Kepegawaian Negara (BKN). Sementara tenaga PTT yang tidak masuk dalam K II dan sudah mengabdi selama 20 tahun, kalah dengan tenaga honorer yang masuk belakangan.

‘’Yang jadi permasalahan adalah bagaimana dengan yang mengabdi sudah hampir 20 tahun yang tidak termasuk dalam K II dan menjadi afirmasi/skala prioritas dan menjadi korban kebijakan sebelumnya. Padahal SK langsung dari Sekda atau Badan Kepegawaian Daerah (BKD),’’ ujarnya bertanya.

Sementara fakta di lapangan, ungkapnya, banyak K II yang memiliki SK di atas 2005, terutama limpahan dari kabupaten/kota akibat dari UU 23 tahun 2014, terkait peralihan SMA/SMK ke provinsi yang SK-nya hanya diterbitkan oleh kepala sekolah. Pihaknya beranggapan, SK seperti ini lebih mudah untuk dimanipulatif.

‘’Yang sudah lama mengabdi 20 tahun, yang tidak masuk K II akibat dari kebijakan terdahulu sama sekali belum memiliki perhatian khusus. Dan hanya dikalahkan dengan sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh BNSP. Ini sudah 2 kali kami alami, sehingga selalu terpental. Padahal sudah berusaha maksimal untuk mengejar nilai terbaik. Namun pupus hanya karena sertifikat. Sementara banyak sertifikat lain dari pelatihan sudah kami sertakan, namun tidak menjadi pertimbangan alias ditolak,’’  ungkapnya.

Menurutnya, sistem pengambilan penambahan nilai 10 % diambil dari nilai teknis tertinggi seharusnya diambil dari nilai kompetensi teknis bukan dari nilai tertinggi kompetensi teknis, jika benar semua. Apalagi saat seleksi kompetensi dilakukan secara terbuka dan skor peserta bisa dilihat langsung.

‘’Kami diuji kompetensi secara terbuka yang live score bisa disaksikan oleh semua orang. Dan score langsung keluar sesuai dengan kemampuan masing-masing. Yang kompeten tentunya mereka adalah yang memiliki nilai tinggi. Namun pada saat pengolahan, terpental dengan sertifikat yang sama sekali tidak terbuka atau belum teruji keabsahannya,’’ tambahnya kecewa.

Selain itu, akibat banyaknya masuk tenaga kontrak yang diangkat para pejabat pejabat telah banyak merugikan tenaga honorer yang sudah lama mengabdi. Di balik pendataan dan pengadaan honorer menjadi PPPK honorer lama merasa dirugikan dan menguntungkan para tenaga kontrak baru yang diangkat oleh kepala SKPD.

‘’Ruginya honorer lama atau PTT tidak bisa ikut CPNS, karena usia dan diberlakukan pendataan yang sama dengan yang baru, kemudian untungnya para tenaga kontrak yang baru bisa ikut seleksi CPNS dan PPPK secara bersamaan,’’ ungkapnya.

Menanggapi hal ini, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi NTB H. Yusron Hadi, ST., MUM., memahami kekecewaan dari tenaga honorer yang sudah lama mengabdi. Menurutnya, penerimaan PPPK itu menggunakan skala prioritas, sehingga ada skala prioritas pertama. Yakni tenaga honorer Kategori II (R 2) yang tersisa dan diangkat tahun-tahun yang lalu. Kemudian prioritas kedua adalah tenaga non ASN yang masuk database BKN atau dikenal istilah ‘’R 3’’.  ‘’Sementara yang prioritas ketiga adalah tenaga non ASN yang belum masuk database atau istilah ‘’R 4’’,’’ terangnya pada Suara NTB.

Diakuinya, penentuan kelulusan sesuai dengan skala prioritas ini akan berkonsekuensi terhadap penentuan kelulusan, khususnya ‘’R 3’’ yang nilainya lebih tinggi dari ‘’R 2’’. Tapi karena ada skala prioritas itu, maka peserta yang masuk ‘’R 2’’ itu yang diluluskan, meski nilainya lebih rendah. Begitu juga dengan ‘’R 4’’, ketika mengikuti seleksi kompetensi PPPK, meski nilainya tinggi dibandingkan dengan ‘’R 3’’ dan ‘’R 2’’ yang melamar di formasi itu, maka yang diprioritaskan adalah ‘’R 2. ‘’Jadi ini leveling yang perlu dipahami dan dimaklumi, pada sistem rekrutman PPPK tahun ini,’’  terangnya. ‘’Misalnya, ‘’R  3’’ nilainya 305, kemudian ‘’R 2’’ nilainya 205, ‘’R 2’’ yang diluluskan,’’ tambahnya.

Meski demikian, ujarnya, terhadap tenaga honorer yang sudah mengikuti seleksi PPPK dan tidak mendapatkan kode ‘L’’ berpotensi untuk diluluskan sebagai PPPK Paruh Waktu. ‘’Soal bagaimana pengusulannya, bagaimana mekanismenya dan rupanya paruh waktu, kita tunggu saja pada saatnya,’’ terangnya.  (ham)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -


VIDEO