Catatan: Agus Talino
SAYA menonton video. Indah sekali. Seekor elang dari ketinggian menukik. Badannya “tenggelam” pada laut lepas. Seluruh bulunya kuyup. Elang terbang tinggi. Setelah menangkap seekor ikan. Dia membawa mangsanya terbang jauh. Jauh sekali.
Saya membayangkan Iqbal-Dinda seperti “elang”. Datang dengan cita-cita tinggi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur NTB. Mengepak sayapnya gagah dengan gagasan-gagasan besarnya. Menjulang tinggi. Dan mengeksekusi gagasan-gagasan besarnya tanpa meleset.
Gagasannya. Pikiran besarnya adalah tindakannya. Seperti elang. Yang gagah pada ketinggian. Menukik. Menangkap mangsanya. Menangkap buruannya tepat sasaran. Elang tak saja gagah terbang. Dia tidak mati kelaparan di angkasa. Karena selalu bisa menemukan makanannya. Menangkap ikan pada laut luas. Maksudnya, gagasan itu mahal. Harganya tinggi. Seperti tempat tertinggi elang terbang. Tetapi dia menjadi tidak berarti apa-apa. Ketika gagasan itu hanya selesai pada pikiran. Dia hanya muncul di “angkasa”. Tetapi tidak kelihatan. Dan tak bisa ditangkap di “bumi”.
Harapan saya, Iqbal-Dinda dengan gagasan dan tindakannya. Mengajak masyarakat NTB terbang tinggi. Terbebas dari kemiskinan. Paling tidak, angka kemiskinan turun dari angka sekarang.–September 2024, angka kemiskinan di NTB, 11,91 persen. Dan nasional, 8,57 persen–. Masih lebih tinggi dari rata-rata nasional.
Pada suatu kesempatan. Pak Iqbal mengatakan begini. NTB sepantasnya menjadi daerah kaya raya. Parameter untuk menjadi daerah kaya raya terpenuhi. Pak Iqbal menyebut tambang sebagai salah satu kekayaan NTB. Menurutnya, kalau diakumulasi cadangan emas yang sudah dieksploitasi saja. Jumlahnya lebih besar dari cadangan tambang emas terbesar di dunia saat ini.
Pak Iqbal tentu punya data yang sangat akurat. NTB benar-benar kaya. Apalagi kalau kita hitung semua potensi yang ada. Potensi pariwisata, potensi kelautan, potensi pertanian. Dan potensi-potensi lainnya. Seharusnya, warga NTB tidak perlu merantau. “Bertarung” di luar negeri sebagai TKI. Meninggalkan sanak keluarga di kampung halamannya untuk menjemput masa depannya. Memperbaiki ekonomi keluarganya. Risiko menjadi TKI tidak sederhana. Ada TKI yang kembali jenazahnya. Meninggal di negeri orang. Keluarga menyambut jenazahnya dengan kesedihan yang mendalam. Menyambut dengan tangis yang histeris. Harapannya, dia pulang membawa rezeki yang banyak dari hasil kerja kerasnya. Tetapi yang datang adalah jenazahnya. Keluarganya terguncang. Sandaran hidupnya tinggal nama. Pergi untuk selamanya.
Keberadaan perusahaan tambang di NTB adalah harapan. Harapan warga NTB memperbaiki ekonominya. Kita tidak bisa hanya menghitung kekayaan yang kita miliki. Yang penting kita lakukan adalah kekayaan yang kita miliki benar-benar kita rasakan manfaatnya. Tidak boleh kekayaan yang kita miliki hanya dirasakan manfaatnya oleh orang-orang tertentu saja. Dan masyarakat hanya menanggung dampak buruk dari keberadaan perusahaan tambang yang mungkin saja terjadi.
Kegiatan tambang adalah “mengeruk” alam. Tambang boleh jadi telah menghilangkan mata pencaharian masyarakat sekitar. Masyarakat lingkar tambang. Mungkin sebelum perusahaan tambang datang. Hutan lokasi tambang adalah tempat masyarakat sekitar memetik madu. Memetik rotan. Mengambil kayu bakar. Setelah perusahaan tambang hadir. Semuanya tinggal cerita masa lalu. Dan mungkin anak-anak yang lahir belakangan tak pernah tahu. Bahwa dulu di hutan tempat perusahaan tambang beroperasi adalah tempat keluarganya mencari kehidupan.
Saya tidak mengatakan keberadaan perusahaan tambang di NTB tidak banyak manfaatnya bagi masyarakat. Manfaatnya pasti ada. Kontribusinya pasti ada. Yang ingin saya katakan. Mungkin Iqbal-Dinda perlu bicara lebih dalam dengan perusahaan-perusahaan tambang yang beroperasi di NTB. Tujuannya, sederhana saja. Pastikan perusahaan tambang yang ada memberi prioritas pada masyarakat lokal.
Mungkin masih ada ruang yang bisa dimaksimalkan agar masyarakat lokal bisa memiliki akses bisnis, misalnya dengan perusahaan tambang yang ada. Akses bisnis itu bisa langsung. Bisa juga tidak langsung.
Katakan keperluan sayur mayur dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Sehingga petani sayur mayur di daerah sekitar dan lingkar tambang bisa memasukkan sayur mayurnya ke perusahaan tambang. Artinya, perusahaan tambang tidak perlu mengambil sayur mayur dan kebutuhan-kebutuhan lain yang sesungguhnya bisa dihasilkan oleh masyarakat lokal. Apalagi kata Pak Iqbal. Tanah di NTB itu subur. Hampir semua yang ditanam di NTB itu menjadi kelas satu. Tembakau kelas satu. Jagung kelas satu. Bawang merah kelas satu. Bawang putih kelas satu. Sehingga tidak ada alasan perusahaan yang ada membeli kebutuhan sayur mayurnya dari luar NTB. Kalau pertimbangannya kualitas.
Yang mungkin perlu dipertimbangkan adalah program-program yang ada di OPD terkait. Menyesuaikan dengan target menyiapkan petani untuk memproduksi hasil pertanian kebutuhan perusahaan tambang. Percuma juga kita ingin masuk ke perusahaan tambang untuk kerja sama bisnis, misalnya. Tetapi kita tidak bisa menyiapkan “barang” sesuai kebutuhan dan kualitas yang ditentukan perusahaan tambang.
Sama juga dengan program-program lain. Mungkin perlu juga ada evaluasi. Atau mungkin kajian yang dalam dan lengkap. Tujuannya, agar semua program benar-benar selaras dengan target Iqbal-Dinda. Sesuai dengan mimpi besar dan visi Iqbal-Dinda.
Tidak masuk akal. Konsentrasi Iqbal-Dinda pada penurunan angka kemiskinan, misalnya. Tapi program pada OPD tidak signifikan. Bahkan jauh urusannya dengan target menurunkan angka kemiskinan. Apalagi kalau programnya hanya berorientasi proyek. Asal proyek jalan saja. Bisa merepotkan. Mudah-mudahan tidak ada yang begitu.
Salah satu cara membangun NTB itu adalah menghadirkan investor. Dan investor besar sudah masuk ke NTB. Di NTB tidak saja ada tambang. Tetapi juga ada smelter yang sedang dalam proses pembangunan di KSB. Tugas kita semua adalah menjaga investasi yang masuk. Investor aman dan nyaman berinvestasi. Masyarakat merasakan manfaatnya. Artinya, semuanya saling memberi manfaat. Perusahaan tambang memberi perhatian, berpihak dan memberi prioritas pada masyarakat lokal. Masyarakat menjaga keamanan dan kenyamanan perusahaan tambang selama beroperasi.
Peristiwa pengerusakan dan pembakaran fasilitas perusahaan tambang di Dompu. Yang mengakibatkan perusahaan menghentikan sementara aktivitasnya. Harus menjadi pelajaran. Harapannya, peristiwa seperti itu tidak terulang lagi. Kalau terjadi kebuntuan komunikasi masyarakat dengan perusahaan. Pemerintah bisa mengambil peran untuk menyelesaikannya. Sebagai mantan Dubes dan juru bicara Kementerian Luar Negeri RI. Pak iqbal punya keahlian dan kepiawaian untuk itu. Termasuk mencari jalan keluar terbaik tentang rumah singgah di RSUP NTB.
Menjaga kekayaan NTB. Saya meletakkan harapan besar pada kepemimpinan Iqbal-Dinda. Kekayaan yang kita miliki. Termasuk kekayaan tambang harus tidak sia-sia. Tambang ilegal yang merugikan daerah harus ada penyelesaiannya. Pak Iqbal mengatakan. Kita perlu cara baru mengelola NTB. Apalagi Iqbal-Dinda datang dari partai yang berkuasa. Iqbal-Dinda bisa bicara dengan Jakarta. Jika kewenangan dan keputusannya ada di Jakarta. Artinya, Iqbal-Dinda punya banyak pintu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi NTB.
Saya suka. Suka sekali dengan beberapa pernyataan Pak Iqbal. Termasuk pernyataannya. Kita perlu cara baru mengelola NTB untuk menjadikan NTB hebat dan kaya raya. Dan saya juga suka peribahasa yang satu ini. “Kalau sekadar mengapung. Ikan mati juga bisa”. *