Mataram (Suara NTB) – Kawasan konservasi penyu di Pantai Mapak, Kota Mataram, mengalami kerusakan parah akibat abrasi yang terus menerus terjadi dalam dua tahun terakhir.
Ketua Yayasan Pencinta Penyu Mapak Indah, H. Mahendra Irawan, mengungkapkan kondisi ini semakin memburuk sejak Oktober 2024 hingga Februari 2025 akibat badai besar yang disertai angin dan hujan deras berkepanjangan.
Abrasi yang terjadi tak hanya merusak pesisir, tetapi juga menghancurkan hampir seluruh sarana dan prasarana konservasi penyu yang dibangun sejak beberapa tahun terakhir.
“Mulai dari kolam konservasi yang nilainya hampir Rp250 juta, ruang edukasi, kolam rehabilitasi hingga area sekretariat yayasan, semua rusak” ungkap Mahendra saat diwawancarai Suara NTB, Minggu (6/4/2025).
Selain itu, fasilitas umum seperti area parkir pengunjung dan lapak UMKM yang menopang aktivitas konservasi juga tak luput dari kerusakan. Dampaknya, aktivitas pelestarian penyu termasuk proses peneluran mengalami gangguan serius. “Sampai sekarang belum ada satu pun penyu yang mendarat. Padahal biasanya, bulan-bulan ini sudah mulai ada aktivitas peneluran,” ujarnya.
Mahendra menyebut, perubahan iklim dan kerusakan ekosistem pesisir menjadi faktor utama berkurangnya populasi penyu yang datang bertelur. Di sisi lain, dukungan konkret dari pemerintah dinilai belum terlihat.
“Pemerintah hanya datang menjanjikan solusi, tetapi sampai sekarang tidak ada tindak lanjut. Padahal bicara konservasi itu bicara lingkungan, dan itu berarti juga bicara ekonomi serta masa depan wisata,” tegasnya.
Ia menilai, selama ini upaya mitigasi dari pemerintah masih sebatas wacana. Mahendra membandingkan dengan pendekatan yang dilakukan pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang dinilainya lebih progresif dalam mengalokasikan anggaran dan kebijakan untuk penanganan bencana dan konservasi. “Kalau bicara anggaran, pusat dan daerah sebenarnya punya. Pertanyaannya, mau atau tidak serius menangani?” katanya.
Kerusakan kawasan konservasi juga berdampak pada kehidupan warga sekitar. Mahendra menjelaskan, sebagian besar warga yang terdampak kini harus mengungsi ke lokasi lain. Yayasan sendiri kini menempati tempat sementara di wilayah Pagutan, sementara warga dibangunkan hunian sementara (huntara) oleh Pemkot Mataram di atas tanah milik Pemprov NTB.
Dalam situasi serba terbatas, Yayasan terus berupaya melakukan edukasi dan kegiatan konservasi. Mereka juga melakukan penghijauan dengan menanam cemara laut sebagai bentuk perlindungan alami dari abrasi. Namun, Mahendra mengaku kecewa karena ada pihak yang justru menyalahgunakan nama yayasan untuk menggalang donasi, tetapi dana yang dikumpulkan tidak disalurkan.
“Ada oknum dari sekolah internasional yang pakai nama konservasi penyu Mapak untuk galang dana Rp22 juta. Sampai sekarang dananya tidak pernah kami terima,” ujarnya.
Mahendra menegaskan pentingnya perhatian pemerintah terhadap konservasi penyu yang juga merupakan bagian dari pelestarian ekosistem laut. Ia berharap, ke depan pemerintah pusat dan daerah bisa lebih serius memberi dukungan, baik dalam bentuk regulasi maupun anggaran. “Tidak semua kegiatan harus berorientasi uang. Tapi kami percaya, menjaga alam adalah investasi jangka panjang bagi kehidupan,” pungkasnya. (don)