RENCANA pengembangan transportasi publik di Kota Mataram kembali menjadi sorotan. Pasalnya, berbagai wacana yang pernah digulirkan hingga kini dinilai belum terealisasi secara konkret.
Dalam pembahasan rencana awal RPJMD Kota Mataram, Ketua Komisi I DPRD Kota Mataram, I Wayan Wardana, SH., menegaskan pentingnya realisasi pengembangan transportasi publik, bukan sekadar menjadi wacana semata. Ia mencontohkan bagaimana beberapa kota di Indonesia seperti Denpasar dengan Sarbagita, Yogyakarta dengan Trans Jogja, serta Surabaya dengan Trans Surabaya telah mampu mengoperasikan sistem transportasi massal secara efektif.
“Kita pernah mendapatkan bantuan bus dan halte dari pemerintah pusat, tapi program itu tidak berjalan di sini. Di daerah lain seperti Denpasar, Jogja, Surabaya, itu jalan semua,” ungkap Wardana, Jumat, 11 April 2025.
Menurutnya, keberadaan transportasi publik yang layak akan sangat membantu mengurangi kemacetan di Kota Mataram yang kini semakin terasa, terutama di jam-jam sibuk.
Tak hanya soal transportasi, perhatian juga diarahkan pada aspek tata ruang dan penataan kawasan kota. Wardana menyinggung soal masih adanya kawasan yang berkembang tanpa pengawasan dan pengendalian, seperti di daerah Repuk Kilang yang disebutnya mengalami pembangunan perumahan secara masif dan tak terkendali.
“Coba Bapak jalan ke arah timur, di kawasan Repuk Kilang itu, pembangunan perumahan semakin meluas. Legal atau ilegal, saya tidak tahu. Tapi ini jelas menunjukkan lemahnya penegakan hukum tata ruang di kita,” ujar politisi PDI Perjuangan ini.
Wardana menyayangkan adanya pembiaran selama puluhan tahun terhadap pembangunan di kawasan yang disebutnya tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Hal ini menurutnya bisa menjadi preseden buruk yang mendorong pelanggaran serupa terjadi di tempat lain.
Dalam forum tersebut, anggota dewan dari daerah pemilihan Mataram ini juga menyinggung pentingnya keseimbangan antara penetapan lahan pertanian abadi (LP2B/LSD) dan hak-hak petani. Pemerintah diharapkan tidak hanya menetapkan aturan sepihak tanpa memberikan kompensasi yang adil.
“Kalau pemerintah hanya menetapkan LP2B tanpa kompensasi, itu bukan negara yang berdaulat. Rakyat lah pemilik tanah yang sebenarnya. Jangan hanya berhenti di sosialisasi dan diskusi. Harus ada hasil nyata yang bisa diterapkan,” tegas Wardana.
Ia pun meminta agar pemerintah kota serius dalam menata kota, terutama dalam konteks menjadikan Mataram sebagai kota layak huni. Kawasan-kawasan kumuh yang masih ada di pusat kota seharusnya menjadi perhatian utama, mengingat status Mataram sebagai ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat.
“Di tengah kota kita masih ada kawasan seperti Skid Row yang kumuh dan tidak tertata. Ini harus jadi perhatian. Kalau tidak ditangani sekarang, ini akan jadi masalah besar di masa depan,” pungkas Wardana. (fit)