Giri Menang (Suara NTB) – Lombok Barat (Lobar) memiliki pekerjaan rumah, dari sisi Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan SDGs Desa. Sebagian besar penduduk belum terdata di SDGs Desa. Dari sisi Indikator SDGs, kendati beberapa cukup menjanjikan namun masih banyak yang patut menjadi perhatian.
Di antaranya, masih rendahnya desa tanpa kemiskinan dan desa tanpa kelaparan. Bahkan hampir setengah atau 50 persen penduduk Lobar belum merasakan kesejahteraan yang layak.
Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat, Program P3MD Kementerian Desa PDT, Dr. Sabirin, M.Si., mengatakan data SDGs Desa yang dirilis melalui laman sid.kemendesa.go.id menjadi potret paling jujur tentang kondisi masyarakat Lobar. Data ini bukan sekadar angka. Ia adalah wajah warga yang berbicara melalui kuesioner.
“Dari 718.563 penduduk, baru 291.930 jiwa atau 40,63 persen yang terdata hingga 27 November 2024. Dari 225.036 keluarga, hanya 85.026 atau 37,78 persen yang telah terpetakan. Angka ini penting, karena ia menentukan ketepatan arah pembangunan ke depan,” kata dia, Senin, 21 April 2025.
Capaian beberapa indikator SDGs Desa Lobar cukup menjanjikan. Desa Berenergi Bersih dan Terbarukan mencapai angka 99,30 persen.
Ini menunjukkan keberhasilan dalam pemerataan akses listrik dan pemanfaatan energi ramah lingkungan. Desa Damai dan Sejahtera juga mencapai 75,95 persen, yang berarti masyarakat relatif hidup dalam suasana rukun, aman, dan minim konflik sosial. Namun, capaian tinggi itu tak serta-merta menutupi capaian indikator lainnya yang masih menganga. Sebab masih banyak indikator lain yang belum optimal.
Seperti Desa Tanggap Perubahan Iklim hanya menyentuh angka 15,84 persen. Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan bahkan lebih rendah lagi 7,25 persen. Padahal, isu perubahan iklim tak bisa dianggap angin lalu, terutama di wilayah rentan bencana seperti Lombok. Dua indikator lingkungan lainnya, lingkungan darat dan lingkungan laut, masing-masing hanya 7,99 persen dan 20 persen. “Ini sinyal bahaya,” terangnya.
Selanjutnya perusakan hutan, pencemaran air, abrasi pesisir, dan eksploitasi sumber daya alam perlu segera ditangani. Jika tidak, pembangunan akan bertumpu di atas kerentanan yang terus menganga. Tak kalah penting, kemiskinan dan kelaparan juga masih menjadi pekerjaan besar. Desa tanpa kemiskinan baru di angka 53,56 persen. Desa tanpa kelaparan lebih rendah lagi, 45,76 persen. “Hal ini menggambarkan bahwa setengah lebih penduduk Lombok Barat belum merasakan kesejahteraan yang layak,” imbuhnya.
Angka tersebut sejalan dengan temuan BPS yang mencatat tingkat kemiskinan di Lobar pada 2024 berada di kisaran 12,65 persen. Sebuah capaian yang belum mampu mengubah status kemiskinan struktural.
Pemkab pun perlu melakukan inovasi kebijakan yang lebih progresif dan menyasar akar persoalan. Pendidikan juga menjadi sorotan. Desa dengan Pendidikan Berkualitas hanya berada di angka 42,70 persen. Ini perlu perhatian serius, mengingat pendidikan adalah fondasi dari segala dimensi pembangunan lainnya,”harapnya.
Dikatakan, di desa, akses pendidikan masih timpang. Sekolah-sekolah belum merata, kualitas guru belum seimbang, dan masih banyak anak putus sekolah karena alasan ekonomi. Kesenjangan pun masih terasa. Desa tanpa kesenjangan baru 34,10 persen. Ketimpangan akses terhadap layanan dasar, peluang ekonomi, hingga partisipasi sosial masih menjadi tantangan.
Meski begitu, tidak semua harapan tertutup. Ada titik terang dari indikator desa sehat dan sejahtera yang mencapai 57,43 persen. Ini menunjukkan adanya kemajuan dalam akses layanan kesehatan dasar, meski belum menyentuh seluruh warga desa secara merata. Begitu pula dengan indikator air bersih dan sanitasi yang mencapai 50,95 persen, menandakan setengah desa sudah relatif aman dari krisis air bersih.
Keterlibatan perempuan juga perlu diapresiasi. Dengan capaian 50,83 persen, perempuan desa mulai terlibat dalam perencanaan, pengambilan keputusan, hingga kepemimpinan. Namun, angka ini harus terus didorong. Sebab perempuan adalah aktor penting dalam pembangunan, terlebih dalam pengelolaan ekonomi rumah tangga dan lingkungan sosial desa.
“Satu hal yang juga patut dicatat adalah indikator kelembagaan desa dinamis dan budaya adaptif yang mencapai 55,89 persen,” terangnya.
Hal ini menunjukkan desa-desa di Lobar mulai mengakui pentingnya kelembagaan lokal, nilai-nilai tradisi, dan praktik kearifan lokal dalam menghadapi perubahan zaman. Budaya tidak lagi dianggap sebagai penghambat pembangunan, tetapi sebagai kekuatan. Namun capaian pada indikator infrastruktur dan inovasi desa masih 47,98 persen. Artinya, banyak desa masih bergumul dengan jalan rusak, jaringan listrik belum stabil, dan belum tersentuh oleh layanan digital. Padahal, dalam era revolusi industri 4.0, digitalisasi desa menjadi kebutuhan, bukan lagi pilihan.
Lebih jauh dikatakan, masalah lain yang belum selesai adalah pada indikator kawasan pemukiman aman dan nyaman yang baru mencapai 31,61 persen. Ini artinya masih banyak warga yang tinggal di wilayah rawan longsor, banjir, atau jauh dari akses fasilitas umum. Perencanaan tata ruang berbasis mitigasi bencana dan kenyamanan hidup menjadi kebutuhan mendesak.
Kemitraan untuk pembangunan desa juga belum maksimal. Dengan angka 46,88 persen, sinergi antar-stakeholder, baik dari pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan masyarakat sipil, masih perlu diperkuat. Kolaborasi adalah kunci utama dalam pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal.
Untuk itu menurutnya, peringatan ulang tahun ke-67 Lobar harus menjadi momentum membangun kesadaran kolektif. Bahwa pembangunan tidak hanya diukur dari panjangnya jalan aspal atau megahnya kantor pemerintahan, tapi sejauh mana warga desa merasakan perubahan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Capaian 40,63 persen data SDGs Desa bukan akhir. Justru ini adalah awal untuk mempercepat pendataan, memperdalam analisis, dan merumuskan kebijakan berbasis data. Setiap desa memiliki wajah dan cerita yang berbeda.
“Maka pembangunan pun harus dirancang sesuai dengan kebutuhan spesifik setiap desa,”imbuhnya.
Jika data dibaca secara bijak, maka SDGs Desa bukan hanya sekumpulan angka, melainkan peta jalan yang membawa Lombok Barat menuju masa depan yang lebih inklusif, adil, dan lestari. Masa depan di mana desa bukan lagi objek, tetapi subjek utama pembangunan. Karena sejatinya, kemajuan Lobar tidak bisa dibangun dari balik meja rapat atau acara seremoni. Ia harus tumbuh dari tanah desa, dari tangan petani, nelayan, guru, bidan, dan tokoh adat. Dari warga yang selama ini menjadi denyut nadi sejati pembangunan. (her)