SABTU pagi, 3 Mei 2025, halaman Kantor Wali Kota Mataram dipenuhi suasana haru dan sukacita. Ratusan Jemaah Calon Haji (JCH) dilepas dengan doa dan linangan air mata, diiringi peluk hangat keluarga yang mengantar hingga ke pintu bus.
Di tengah keramaian yang penuh semangat itu, pandangan Suara NTB tertuju pada sosok sederhana yang berdiri diam, menggendong karung usang di punggungnya dan memegang kantong plastik di tangan. Namanya Aimah, seorang pemulung berusia 55 tahun.
Dengan langkah pelan, Aimah memunguti botol dan gelas plastik yang berserakan di sekitar lokasi. Sesekali ia menghentikan aktivitasnya, berdiri terpaku menatap bus-bus besar berisi para JCH yang perlahan bergerak meninggalkan halaman kantor wali kota, membawa para tamu Allah menuju embarkasi. Sorot matanya tampak menerawang, seolah menyimpan doa yang tak terucap.
“Alhamdulillah, Masyaallah, saya juga ikut seneng liat mereka yang pada berangkat haji,” ucapnya.
Seperti kebanyakan orang, di dalam ruang hati Aimah tersimpan satu harapan suci yang tak pernah padam, keinginan untuk suatu hari bisa menjejakkan kaki di Tanah Haram, mengunjungi Baitullah. Mimpi itu ia simpan rapi dalam diam. Tak pernah ia ucapkan, karena ia sadar, hidup yang ia jalani tak memberi banyak ruang untuk bermimpi besar. Tapi, ketika menyaksikan keberangkatan para jemaah haji, pagi itu, harapannya kembali menyala, kecil, tenang, namun hangat.
Bagi Aimah, Baitullah bukan sekadar tempat, tetapi panggilan suci yang hanya bisa dijawab oleh mereka yang beruntung secara lahir dan batin. “Siapa sih yang nggak mau ke Baitullah,” katanya lirih dengan senyuman.
“Saya juga ingin, tapi hidup saya seperti ini. Sekarang cuman bisa menyisihkan uang buat sewa kontrakan, tapi disyukuri saja, dan tetap berdoa,” lanjutnya.
Sudah hampir 25 tahun Aimah menjalani profesinya sebagai pemulung. Sejak tahun 2000, ia menggantungkan hidup dari barang-barang bekas yang dikumpulkan dari jalanan kota. Penghasilan yang didapatnya tidak menentu, namun cukup untuk bertahan dari hari ke hari.
Ia memiliki tujuh orang anak, yang semuanya kini telah menikah dan memiliki kehidupan masing-masing. Aimah memilih untuk tidak bergantung pada anak-anaknya. Ia merasa belum mampu memberikan kehidupan yang layak untuk mereka di masa lalu. Karena keterbatasan ekonomi yang hanya memungkinkan mereka menempuh pendidikan hingga jenjang SMP.
Kini Aimah tinggal sendiri di sebuah kontrakan kecil di kawasan Monjok, dengan biaya sewa Rp300 ribu per bulan. Suaminya telah meninggal pada tahun 2023 lalu, setelah bertahun-tahun bekerja sebagai penjual mainan keliling.
“Saya tinggal sendiri. Suami sudah meninggal 2023 kemarin. Semasa hidup suami jualan mainan atau balon-balon anak-anak, ngambil dari orang buat dijualin,” tuturnya.
Rutinitas harian Aimah dimulai sejak fajar. Ia biasanya menyusuri area Islamic Center hingga ke sekitar Kantor Wali Kota Mataram untuk mengumpulkan botol plastik dan gelas bekas.
“Keluar habis subuh, terus dekat zuhur pulang. Mandi bersih-bersih, salat, istirahat. Nanti sore, baru jalan lagi,” terangnya.
Dari hasil mengumpulkan barang bekas, ia memperoleh penghasilan sekitar Rp20 ribu hingga Rp30 ribu per hari. Sebagian digunakan untuk membeli beras, sebagian lagi ia sisihkan untuk membayar sewa kontrakan.
Keramaian seperti acara pelepasan haji menjadi momen yang ia tunggu. Di tengah banyaknya orang berkumpul, barang bekas lebih mudah ia temukan tanpa harus berjalan jauh. Tapi di balik itu, ada harapan yang terus tumbuh dalam diam.
Aimah memang seorang pemulung. Tapi, dia adalah cerminan dari keteguhan hati dan kesabaran dalam menghadapi kerasnya hidup. Ia menyimpan harapan suci, meski dalam keterbatasan. Di tengah kemegahan keberangkatan para JCH, Aimah berdiri dalam senyap. Tak hanya memungut sisa, tapi juga memelihara mimpi yang tulus, bahwa suatu hari, semoga ia pun bisa menjejakkan kaki di Tanah Suci. Menyapa Ka’bah yang selama ini hanya bisa ia bayangkan dalam doa-doanya.(hir)