Selong (Suara NTB) – Jumlah pustakawan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dinilai sangat minim dan tidak sebanding dengan jumlah perpustakaan yang tersebar di sekolah, perguruan tinggi, desa, hingga kabupaten/kota.
Kondisi ini mengancam peran perpustakaan sebagai pusat informasi dan sumber belajar bagi masyarakat. Data terbaru dari Persatuan Pustakawan Indonesia (PPI) NTB menyebutkan, rekrutmen pustakawan di daerah ini selama ini sangat-sangat minim dibandingkan kebutuhan ideal.
Ketua PPI NTB, Ihwan, dalam keterangannya pada Suara NTB di Selong belum lama ini, mengaku prihatin. Menurutnya, regulasi menetapkan setiap perpustakaan sekolah minimal memiliki dua pustakawan. ‘’Namun, realitanya, banyak sekolah bahkan tidak memiliki satu pun pustakawan yang kompeten,” ujarnya.
Perpustakaan seharusnya menjadi jantung pembelajaran, baik di lingkungan pendidikan maupun komunitas. Ihwan menjelaskan, minimnya tenaga pustakawan berimbas pada pengelolaan koleksi buku yang tidak sesuai dengan kebutuhan lokal maupun kurikulum pendidikan.
Misalnya, perpustakaan di desa seharusnya menyediakan literatur yang relevan dengan potensi desa, seperti pengelolaan sumber daya alam atau pariwisata. Namun, tanpa kehadiran pustakawan, koleksi yang tersedia seringkali tidak terarah dan tidak dimanfaatkan optimal.
“Di tingkat kabupaten/kota saja masih sangat sedikit, apalagi di desa. Padahal, desa justru membutuhkan sarjana pendamping perpustakaan untuk memastikan perpustakaan menjadi pusat belajar masyarakat,” tegas Ihwan.
Saat ini, jumlah pustakawan di NTB hanya sekitar 200 orang. Angka ini jauh dari perkiraan kebutuhan ideal. Ihwan memberikan ilustrasi: “Jika di Lombok Timur saja ada 400 sekolah, dan tiap sekolah butuh satu pustakawan, maka di seluruh NTB yang memiliki 10 kabupaten/kota, dibutuhkan sekitar 4.000 pustakawan,” imbuhnya
Ketimpangan ini tidak hanya menghambat fungsi perpustakaan, tetapi juga berpotensi melanggengkan misinformasi di tengah masifnya arus digital. “Pustakawan harus menjadi literatur yang mampu meluruskan informasi, memastikan referensi yang dibaca masyarakat akurat dan ilmiah,” tambah Ihwan.
PPI NTB menilai pemerintah masih menganggap sepele peran pustakawan. Minimnya perhatian terhadap rekrutmen dan pelatihan pustakawan membuat profesi ini semakin terpinggirkan. Padahal, kehadiran pustakawan profesional dapat membantu masyarakat mengidentifikasi kebutuhan informasi, merancang program edukasi, hingga mendorong pemanfaatan potensi lokal.
Masyarakat di daerah wisata bisa belajar mengelola destinasi melalui literatur yang tepat. Tapi tanpa pustakawan, koleksi buku tidak akan tertata, dan informasi penting justru terabaikan. PPI NTB mendesak pemerintah daerah dan instansi terkait untuk segera merekrut dan melatih lebih banyak pustakawan.
Langkah ini dinilai krusial untuk memastikan perpustakaan berfungsi maksimal sebagai ruang belajar inklusif. “Pustakawan bukan sekadar penjaga buku, tapi garda terdepan literasi yang membentuk masyarakat kritis dan mandiri,” tegas Ihwan.
Tanpa intervensi serius, minimnya pustakawan di NTB bukan hanya akan memperlebar jurang literasi, tetapi juga menghambat pengembangan potensi daerah yang berkelanjutan. (rus)