Mataram (Suara NTB) – Keberadaan kendaraan modifikasi yang dikenal sebagai “odong-odong” di Kota Mataram semakin menjamur. Kondisi ini bukan hanya memicu keluhan dari para sopir bemo kuning yang kehilangan penumpang, tetapi juga menimbulkan pertanyaan soal legalitas kendaraan tersebut yang diduga beroperasi tanpa izin resmi.
“Sekarang banyak yang datang dari luar daerah, mereka bawa odong-odong. Bukan orang sini. Mereka ambil muatan yang biasa kami antar, seperti anak-anak yang melakukan kunjungan karya wisata atau pengantaran keluarga haji ke asrama haji. Biasanya mereka pakai bemo. Sekarang mereka saja yang dipakai,” keluh salah seorang supir bemo, Sudirman, Senin, 19 Mei 2025.
Menurut Sudirman dan beberapa sopir bemo lainnya, sejak odong-odong mulai beroperasi dalam setahun terakhir, penumpang bemo jadi makin sepi. “Dulu lancar, sekarang susah dapat penumpang. Odong-odong makin banyak. Kami bingung, itu ada izinnya atau tidak,” ujarnya.
Keluhan ini bukan pertama kali disuarakan. Sekitar 20 orang supir bemo bahkan pernah mendatangi Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Mataram untuk mempertanyakan legalitas odong-odong. “Waktu itu pejabat Dishub bilang, kalau itu tidak berizin. Tapi sekarang malah makin marak,” katanya.
Odong-odong sendiri merupakan kendaraan hasil modifikasi. Umumnya berbentuk seperti kereta mini dengan warna mencolok dan suara musik keras. Menurut Sudirman, kendaraan ini kebanyakan dibeli dari luar daerah seperti Jawa, dengan harga bisa mencapai Rp150 juta per unit.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Bidang Pengendalian Operasional Dinas Perhubungan Kota Mataram, Arif Rahman, menyatakan bahwa kendaraan tersebut belum memiliki legalitas yang jelas.
“Odong-odong ini tidak berizin, makanya itu harusnya diuji dulu. Atau paling tidak perusahaan atau bengkel yang mengubah bentuk itu, dia sudah punya izin untuk bengkel perubahan bentuk kendaraan,” ujarnya, Selasa, 20 Mei 2025.
Dari hasil pemantauan dan penataan yang dilakukan oleh pihaknya, sebagian besar odong-odong yang beroperasi di Mataram tidak memiliki Surat Registrasi Uji Tipe (SRUT). Hal ini menjadikan odong-odong sebagai objek penindakan oleh kepolisian dan Dinas Perhubungan.
Namun, pelaksanaan penertiban masih terkendala berbagai faktor. “Dishub dan kepolisian sebenarnya sudah melakukan operasi gabungan secara rutin. Tapi keterbatasan ruang penyimpanan untuk kendaraan yang ditertibkan menjadi hambatan utama. Sehingga kami selama ini hanya menilang saja, begitu mereka bayar tilangannya melalui Brida atau melalui kejaksaan, begitu ditilang oleh Dishub, maka mereka kembali beroperasi lagi. Paling yang masih parah itu, odong-odongnya ada beberapa juga yang tidak memiliki tanda nomor kendaraan, sertifikat kendaraan tidak ada. Jadi SIM pengemudiannya yang kami tahan,” terangnya.
Dari hasil pantauan pihaknya, sebagian besar kendaraan ini merupakan hasil modifikasi di Mataram dan Lombok Barat. Sebagian kecil berasal dari luar daerah, tetapi jumlahnya tidak signifikan. Hingga awal 2025, jumlah odong-odong yang terpantau di Kota Mataram mencapai kurang lebih 80 unit.
Sementara itu, masyarakat sendiri cenderung menyukai odong-odong karena tampilannya yang menarik dan terasa lebih terbuka saat dikendarai.
“Odong-odong ini memang disukai masyarakat. Karena tampilannya menarik, ada musik, terbuka, dan anginnya segar. Tapi kami tetap minta mereka lengkapi izin biar nggak ganggu aturan dan jalur transportasi resmi,” tutupnya. (hir)