spot_img
Senin, Juni 16, 2025
spot_img
BerandaPENDIDIKANTembok Pendidikan yang Retak, Jerat Sunyi di Sekolah dan Kampus

Tembok Pendidikan yang Retak, Jerat Sunyi di Sekolah dan Kampus

Mataram (Suara NTB) – Kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan NTB terus terungkap. Di balik citra ruang belajar yang aman, korban berjuang dalam senyap, sementara sistem perlindungan masih lemah.

Lembaga pendidikan selalu dibayangkan sebagai ruang aman tempat anak-anak bertumbuh dan berkembang dengan tenang. Namun, realitas berkata lain. Di balik dinding sekolah dan kampus yang tampak damai, kisah kelam tentang pelecehan seksual terus mengemuka, mengusik harapan yang selama ini dititipkan pada dunia pendidikan.

Di mata banyak orang tua, sekolah dan kampus adalah tempat anak-anak mereka menimba ilmu dan membangun masa depan. Namun belakangan ini, kenyataan itu retak. Di balik dinding penuh cita-cita, muncul jerat sunyi yang menyelimuti para korban kekerasan seksual di dunia pendidikan, khususnya di NTB.

Lima tahun terakhir memperlihatkan kenyataan pahit: ruang belajar yang semestinya menjadi pelindung justru berubah menjadi tempat terjadinya pelecehan. Di Mataram, seorang guru SDIT ditetapkan sebagai tersangka karena mencabuli muridnya. Belum reda kasus itu, guru honorer di sekolah dasar lain dilaporkan melakukan tindakan serupa. Di tingkat universitas, seorang dosen dipecat dari tiga kampus berbeda setelah dilaporkan melakukan pelecehan terhadap 22 mahasiswa laki-laki.

Institusi berbasis agama pun tak luput. Di Lombok Barat, seorang ketua yayasan pesantren diduga memperkosa 20 santriwati. Kasus ini mencoreng nama lembaga yang selama ini dipercaya sebagai penjaga moral.

Lalu yang baru-baru ini, UIN Mataram diguncang skandal serupa. Seorang dosen sekaligus kepala asrama putri diduga mencabuli tujuh mahasiswi penerima beasiswa Bidikmisi. Kasus ini memicu protes mahasiswa dan sorotan publik terhadap sistem pengawasan kampus.

Menurut Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram, Joko Jumadi, akar persoalan ini terletak pada lemahnya tata kelola lembaga pendidikan dalam mencegah kekerasan seksual. “Perbaikan-perbaikan tata kelola sangat dibutuhkan. Aturan sudah ada, seperti Permendikbud 46 dan 55, tapi implementasinya belum menyeluruh,” ujarnya ketika dihubungi Suara NTB, Jumat, 23 Mei 2025.

Dua regulasi itu, Permendikbudristek No. 46 Tahun 2023 dan Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024, sebenarnya sudah memberikan kerangka jelas tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan.

Namun, menurut Joko, pembentukan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di sekolah dan kampus hanya dilakukan untuk menggugurkan kewajiban administratif.

“Apa yang sudah diamatkan dalam peraturan, itu bisa dilaksanakan oleh satuan-satuan pencegahan, agar kemudian, ya jangan hanya ada Satgas saja, tapi ya jelas Satgas itu menjalankan tugasnya, bukan yang penting terbentuk. Ini kan kemudian menjadi masalah, banyak Satgas dibentuk hanya demi memenuhi regulasi, tapi tidak tahu apa yang harus dilakukan,” terangnya.

Ia juga menyebut kecenderungan institusi lebih melindungi citra ketimbang korban. “Seringkali kasus ditutup-tutupi demi nama baik institusi. Ini memperparah trauma korban,” ujarnya.

Juru bicara Aliansi Perlindungan Perempuan dan Anak NTB, Nur Jannah sependapat dengan Joko. Ia menilai bahwa semestinya lembaga pendidikan bebas dari segala bentuk kekerasan, baik seksual, perundungan, maupun intoleransi. Namun, realitas berkata lain. “Satgas yang dibentuk tidak berjalan sebagaimana mestinya. Mereka tidak berpihak pada korban, bahkan kerap dijadikan mediator, bukan pelindung,” ujarnya.

Ia juga menyoroti lemahnya dukungan dari pimpinan institusi. Menurutnya, Satgas seharusnya tidak hanya dibentuk, tapi diberi anggaran, pelatihan, dan kewenangan yang memadai. “Dibentuknya Satgas PPKS di kampus harus disertai dukungan penuh, mulai dari pembiayaan hingga penguatan SDM,” katanya.

Baik Joko maupun Jannah sepakat, semua pihak harus bergerak, pemerintah daerah, institusi pendidikan, hingga masyarakat. Struktur saja tidak cukup. Fungsi harus berjalan. Dukungan harus nyata. Dan yang paling penting, tidak boleh ada lagi korban yang dipersalahkan.

“Semua pihak harus aware. Tidak boleh lagi menyudutkan korban dengan stigma. Kita harus berdiri di sisi korban,” pungkasnya.

Tembok pendidikan yang retak ini tak bisa dibiarkan berdiri dalam diam. Ia harus diperbaiki, demi ruang belajar yang benar-benar aman. (hir)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -









VIDEO