spot_img
Selasa, Juli 8, 2025
spot_img
BerandaEKONOMIPasar Jadi Persoalan Klasik Garam NTB 

Pasar Jadi Persoalan Klasik Garam NTB 

DI tengah produksi garam yang terus melimpah dari berbagai sentra di  NTB, petani garam masih harus menghadapi persoalan klasik yang belum kunjung tuntas, yakni pemasaran.

“Selama pemasarannya masih bermasalah, mau harga murah atau tinggi, ya sama saja. Jalur pemasaran ini tidak ada yang benar-benar memfasilitasi. Kalau kami di Dinas Kelautan dan Perikanan, tugas kami hanya sampai produksi,” ujar Hj. Hikmah Aslinasari, ST., MM, Sekretaris sekaligus Pelaksana Harian Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB.

Produksi garam NTB tahun 2023 tercatat mencapai 205.535 ton, dengan daerah penghasil terbesar berada di Kabupaten Bima seluas 4.068 hektare, diikuti Kabupaten Sumbawa (3.550 hektare), dan Lombok Timur (1.183 hektare). Namun demikian, serapan terhadap hasil produksi lokal masih sangat terbatas.

“Di Bima sudah ada pabrik garam, dan kalau pengelolaannya bagus, hasil petambak bisa langsung diserap untuk peningkatan kualitas. Tapi sampai hari ini, kualitas garam yang baik pun dihargai sama dengan yang rendah, ini yang membuat petani putus asa,” jelas Hikmah.

Struktur rantai produksi garam rakyat di NTB melibatkan banyak pihak: pemilik lahan, penggarap, penyewa, pengumpul, hingga pedagang antar-pulau. Masing-masing memiliki kebiasaan yang sudah mengakar dan sering kali saling bergantung, namun juga bisa saling merugikan.

“Pedagang seringkali menyamaratakan harga, tak peduli kualitas. Ini membuat petani tidak terdorong untuk memperbaiki mutu produksinya,” tambah Hikmah.

Fenomena ini membentuk lingkaran masalah yaitu,  mutu rendah, harga tetap,  semangat menurun, mutu tidak meningkat, yang pada akhirnya menyulitkan proses hilirisasi dan penyerapan oleh industri.

Meski NTB memiliki potensi pengolahan, sebagian besar hasil garam masih dipasarkan dalam daerah. Sementara itu, industri besar justru masih bergantung pada pasokan dari luar NTB bahkan impor.

“Butuh komitmen bersama. Garam NTB sebenarnya bisa langsung diolah di sini, bahkan ada potensi untuk garam spa seperti di Lombok Barat, yang kini sudah masuk ke hotel-hotel dengan nilai cukup tinggi,” terang Hikmah.

Dinas Kelautan dan Perikanan NTB sebenarnya telah melakukan sejumlah program seperti pendampingan teknis, pembangunan gudang, pemberian perlengkapan geomembran, hingga pelatihan produksi bersih. Namun, semua itu belum berdampak signifikan jika pasar tetap mandek.

“Teknologinya sudah bagus, pendampingan jalan, tapi kendalanya tetap di pasar. Semua hasil garam bisa saja terserap, asal ada yang siap membeli,” ucapnya.

Pemerintah daerah berharap keterlibatan lebih luas dari berbagai sektor, termasuk industri pupuk dan makanan yang notabene membutuhkan bahan baku garam. Hikmah menegaskan, diperlukan laboratorium uji mutu garam agar harga bisa berbasis kualitas, bukan semata kuantitas.

“Industri belum kita sentuh secara optimal, padahal mereka butuh garam. Ke depan, kita harus dorong komitmen bersama, dari hulu hingga hilir, supaya petani garam kita bisa sejahtera,” tandasnya. (bul)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -






VIDEO