Oleh: Dr. Lalu Makripuddin, M.Si.
(Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi NTB)
Pernikahan usia anak kembali menjadi perhatian masyarakat, karena belakangan viral di media sosial anak-anak yang menikah. Perilaku kekanakan diperlihatkan oleh mempelai perempuan, sehingga menimbulkan tanda tanya terkait kesiapannya untuk mengarungi bahtera rumah tangga, dan juga untuk menjadi ibu dari anak-anak yang akan lahir dari pernikahan tersebut.
Memperhatikan kemaslahatan dan kemudharatan dari pernikahan anak, pernikahan anak ini sebenarnya perlu dicegah. Namun pernikahan anak ini terus saja terjadi, Hal ini terlihat dari realita tingginya permohonan dispensasi nikah. Menurut data yang dirilis oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB, dispensasi perkawinan anak di Nusa Tenggara Barat berfluktuasi, tapi trennya cenderung meningkat. Pada tahun 2019 sebanyak 302 kasus, 2020 sebanyak 875 kasus, 2021 sebanyak 1.127 kasus, 2022 sebanyak 710 kasus, dan tahun 2023 sebanyak 723 kasus.
Pernikahan anak merupakan fenomena Gunung Es, yang muncul ke permukaan hanya sebagian kecil dari perkawinan anak yang sebenarnya terjadi. Diperkirakan jumlah anak yang menikah jauh lebih tinggi dari itu. Bila data yang mendapatkan dispensasi dari Pengadilan Agama tahun 2023 disandingkan dengan data lain, maka akan menjawab hal tersebut. Karena jumlah anak yang memeriksakan kehamilannya pada tahun yang sama (2023) adalah 5.024 kasus dan yang melahirkan di bawah usia 18 tahun sejumlah 2.726 kasus. Artinya kasus yang hamil sekitar 3,8 persen lebih besar jumlahnya daripada yang mendapatkan dispensasi dari Pengadilan Agama. Bahkan yang memeriksakan kehamilan angkanya mencapai 7 kali lebih besar Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2024, sebagai posisi teratas penyumbang perkawinan anak atau pernikahan, yang dilihat dari proporsi perempuan umur 20- 24 tahun yang berstatus kawin atau hidup bersama sebelum usia 18 tahun. Angkanya sebesar 14,96 persen, yang jauh lebih tinggi dari angka nasional sebesar 5,9 persen.
Masalah perkawinan di Indonesia sebenarnya diatur dalam Undang undang. Lahirnya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan telah memberikan arah baru pada hukum perkawinan di Indonesia. Perubahan yang dikehendaki oleh Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 adalah berkenaan dengan batasan usia perkawinan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, menjelaskan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun
Perubahan regulasi tersebut didasari oleh pertimbangan matangnya usia individu, sehingga juga mengupayakan untuk meningkatkan ketahanan keluarga dan mencegah perceraian akibat pernikahan di usia yang belum matang.
Pencegahan pernikahan anak perlu didorong agar kasusnya terus turun. Berbagai dampak pernikahan anak selain rentannya ketahanan keluarga, juga akan dapat menyebabkan: gangguan kesehatan. Pernikahan anak, bisa menyebabkan perempuan berisiko mengalami osteoporosis, yang membuat tubuh menjadi bungkung, tulang lebih rapuh dan mudah patah. Selain itu pernikahan anak juga bisa mengakibatkan kanker mulut rahim, karena rahim belum siap sepenuhnya untuk mendapatkan sentuhan, apalagi menampung janin. Pernikahan anak juga lebih berisiko melahirkan bayi stunting. Hal ini karena perawatan selama kehamilan maupun sampai bayi berusia 2 tahun, tidak optimal, karena pemahaman dan kesiapan untuk memiliki bayi juga masih rendah. Hubungan antara usia ibu saat melahirkan yang membuat potensi melahirkan bayi stunting lebih besar.
Pernikahan anak juga berisiko tidak harmonis. Menikah membutuhkan kesiapan psikologis yang matang, karena akan ada banyak pasang-surut masalah di dalamnya. Pada kasus pernikahan anak, biasanya pasangan belum memiliki kesiapan mental yang kuat dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Akibatnya, perceraian pada pasangan pernikahan anak sangat tinggi lantaran ketidakharmonisan rumah tangga dan minimnya pengetahuan tentang manajemen emosi serta penyelesaian masalah.
Lalu kenapa pernikahan anak terjadi? Berbagai faktor yang bisa menyebabkan terjadinya pernikahan usia anak (perkawinan di bawah umur) di antaranya adalah faktor ekonomi. Pernikahan anak seakan menjadi jalan keluar untuk lari dari berbagai macam kesulitan yang dihadapi, termasuk kesulitan ekonomi. Bahwa mereka melakukan praktik pernikahan anak karena ingin memperbaiki ekonomi keluarga. Para perempuan berharap, setelah melaksanakan pernikahan, kehidupan perekonomian mereka bisa semakin membaik karena dapat mengandalkan seluruh penghidupannya pada suaminya. Dari pihak orang tua, pernikahan juga membuat mereka melepaskan tanggung jawab terhadap anaknya, sehingga mereka merasa tugas mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarga telah selesai, beban ekonomi keluarga pun berkurang.
Selain faktor ekonomi, faktor pendidikan juga dapat menjadi penyebab sesorang menikah usia anak. Semakin rendah tingkat pendidikan suatu individu, akan semakin mendorong berlangsungnya pernikahan usia muda (di bawah umur). Pendidikan menjadi faktor penting bagaimana seseorang memandang dunianya serta melihat dirinya sendiri. Pendidikan yang dimakksud baik pada pendidikan formal yang berlangsung di ruang formal. Juga Pendidikan non formal, baik dari keluarga maupun lingkungan sosial.
Bahwa faktor pendidikan menjadi salah satu penyebab dari maraknya praktik pernikahan anak karena ketidaktahuan anak terhadap seksualitas, mereka tidak mengetahui konsekuensi apa yang akan dihadapi saat melakukan seks pra-nikah. Dalam mengatasi problematika seperti ini, pendidikan memang dapat dikatakan menjadi garda terdepan untuk menanggulanginya.
Selain faktor sosial dan ekonomi faktor orang tua atau keluarga juga menjadi faktor yang perlu mendapatkan perhatian sebagai penyebab pernikahan usia anak. Di banyak kasus, orang tua berperan dalam menentukan pernikahan anak mereka. Jika orang tua tidak mampu mengatasi permasalahan yang dialami keluarganya dengan baik, maka mereka bisa mengambil keputusan yang menimbulkan permasalahan baru.
Pernikahan usia anak yang viral dan menjadi perhatian masyarakat, tidak terlepas dari peran orang tua. Perkawinan antara YL (15), siswi kelas 1 SMP, dan RN (16), remaja putus sekolah, yang melakukan akad nikah pada 5 Mei 2025, dan nyongkolang (arak-arakan pengantin) pada 21 Mei 2025. Prosesi ini diawali dengan proses melarikan calon Pengantin Wanita oleh calon pengantin laki laki, yang merupakan rangkaian “Merarik”. Merarik merupakan tradisi perkawinan yang mengakar dalam budaya suku bangsa Sasak di mana mempelai laki-laki atau keluarganya melarikan calon mempelai wanita dengan tujuan untuk menikah. Puncak tradisi merarik adalah sorong serah dan arak-arakan nyongkolan yang meriah.
Melarikan YL oleh RN ini adalah yang kejadian kedua, karena tiga minggu sebelumnya mempelai laki-laki melarikan mempelai perempuan ke salah satu keluarga mempelai laki-laki. Namun kepala dusun/kadus dan keluarga berhasil memisahkan keduanya atau disebut “membelas” (mengembalikan/memisahkan), karena aturan melarang pernikahan usia anak.
Setelah beberapa hari, kembali lagi mempelai laki-laki melarikan mempelai perempuan dan dibawa ke keluarga mempelai laki di Kabupaten Sumbawa, dan sempat menginap dua malam. Kemudian dibawa kembali ke Lombok dan kadus menghubungi kembali pihak orang tua mempelai perempuan, dan menyarankan agar kembali “dibelas”. Namun, orang tua dari pihak perempuan mengatakan, karena sudah lama dibawa lari oleh mempelai laki-laki dan sempat menginap beberapa hari, maka dari pihak perempuan tidak menerima untuk dikembalikan atau dipisah. Oleh karena tidak mau diterima kembali oleh orang tuanya, maka kemudian kedua mempelai dinikahkan.
Faktor lain yang berpengaruh adalah Media Massa. Media massa memiliki peran penting dalam membentuk dan mengubah perspektif masyarakat luas, sehingga media massa dapat dikatakan punya kekuatan untuk mengatur masyarakat. Dengan adanya media massa yang berkembang, kita tidak lagi menganggap tabu soal seksualitas. Sayangnya, maraknya konten mengenai seks dan seksualitas ini tidak diiringi dengan pemahaman dan pengetahuan yang mendalam terkait hal tersebut. Akibatnya, anak maupun remaja menelan informasi secara mentah-mentah karena tidak adanya penjelasan yang kritis. Mereka dengan mudah mengakses informasi dan menyaksikan tayangan konten yang beredar, termasuk tentang pornografi. Ketika berpacaran menjadi lebih permisif, sehingga banyak terjadi kehamilan yang tidak diinginkan. Faktor karena sudah hamil duluan, mendorong seorang anak untuk menikah.
Oleh karena itu, peran orang tua dan pihak-pihak berkepentingan dibutuhkan untuk mendidik dan membimbing para remaja. Selain itu peran sentral keluarga dan pendidikan. Anak-anak yang memiliki prinsip, visi, dan cita-cita yang ditanamkan keluarga tidak akan mudah terjerumus dalam pernikahan anak atau pergaulan bebas yang berujung pada married by accident.
Salah satu cara pencegahan pernikahan anak adalah dengan menyediakan pendidikan formal memadai. Ketika anak-anak perempuan dan laki-laki mendapatkan kesempatan akses pendidikan formal yang memadai, maka pernikahan anak dapat dicegah. Setidaknya anak-anak dapat menyelesaikan pendidikan SMA sebelum menikah. Meningkatnya tingkat pendidikan dapat mengurangi jumlah perkawinan anak. Mendapatkan akses ke pendidikan formal juga membuat anak-anak memiliki kesempatan lebih baik untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil. Hal tersebut pada akhirnya dapat lebih memudahkan untuk mencari pekerjaan sebagai persiapan untuk menghidupi keluarga.
Sosialisasi tentang pendidikan kesehatan reproduksi juga penting dilakukan. Kurangnya informasi terkait hak-hak reproduksi seksual menjadi salah satu alasan masih tingginya pernikahan anak di Indonesia. Mengedukasi anak muda tentang kesehatan dan hak-hak reproduksi seksual penting untuk dilakukan. Hal ini karena masih kurangnya pengetahuan tentang hubungan seksual yang dapat mengakibatkan komplikasi kehamilan hingga dipaksa untuk menikahi pasangan mereka.
Memberdayakan masyarakat agar lebih paham bahaya pernikahan anak. Orang tua dan masyarakat sekitar adalah stakeholder terdekat yang dapat mencegah terjadinya pernikahan anak. Oleh karena itu, penting untuk memberikan pemberdayaan kepada mereka terkait konsekuensi negatif dari pernikahan anak. Adanya pendidikan tersebut diharapkan dapat menginspirasi agar membela hak-hak anak perempuan dan tidak memaksanya untuk menikah anak.
Pencegahan pernikahan anak agar tidak menimbulkan komplikasi kehamilan bisa dilakukan dengan cara mendorong peran pemerintah dalam meningkatkan usia minimum pernikahan. Undang-Undang telah mengatur bahwa perkawinan akan diizinkan apabila telah mencapai usia 19 tahun. Kebijakan hukum lain yang dapat menjadi alat untuk mencegah pernikahan anak di antaranya seperti pencatatan akta kelahiran dan perkawinan. Oleh karena itu pemerintah sebaiknya lebih sering melakukan sosialisasi undang-undang baru tersebut, agar masyarakat dapat memahamiya
Mendorong terciptanya kesetaraan gender. Anak perempuan lebih rentan mengalami pernikahan anak lantaran persepsi dan ekspektasi masyarakat terhadap peran domestik atau rumah tangga. Keluarga dan masyarakat cenderung menganggap anak perempuan lebih siap untuk menikah ketika sudah bisa melakukan pekerjaan rumah tangga. Sebaliknya, laki-laki justru lebih dibebaskan untuk menikah dan menjadikan kemandirian secara ekonomi sebagai kesiapan. Padahal, baik perempuan atau laki-laki memiliki hak yang sama untuk menentukan pilihannya dalam menikah. Selain itu, perempuan juga memiliki hak untuk terus berkarya tanpa harus ditakuti dengan stigma “jangan jadi perawan tua, nanti nggak ada laki-laki yang mau”.