Mataram (Suara NTB) – Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda NTB akan segera melimpahkan berkas perkara kasus dugaan kekerasan seksual yang melibatkan oknum dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, berinisial WJ (35), ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram.
Direktur Reskrimum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat, SIK., SH mengatakan saat ini pihaknya masih dalam proses melengkapi berkas perkara. “Masih pemberkasan. Kalau sudah lengkap, akan segera kami kirimkan ke kejaksaan,” ujarnya, Selasa, 17 Juni 2025.
Meski belum merinci waktu pasti pelimpahan, Syarif menegaskan bahwa batas waktu penahanan tersangka menjadi acuan. “Intinya sebelum batas waktu penahanan habis, sudah kami limpahkan,” tegasnya.
WJ ditetapkan sebagai tersangka pada Jumat, 23 Mei 2025, dan langsung ditahan di Rumah Tahanan Polda NTB. Penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik memeriksa lima korban, dua saksi, menyita barang bukti, dan melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP).
Kasubdit IV Renakta Ditreskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati, menjelaskan bahwa WJ dijerat dengan Pasal 6 huruf a atau c dan Pasal 15 ayat (1) huruf b atau e Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Ancaman hukuman maksimal yang dihadapi adalah 12 tahun penjara, dengan kemungkinan penambahan berdasarkan pertimbangan hukum di persidangan.
Menurut Pujawati, hingga kini baru lima korban yang melapor, namun tidak menutup kemungkinan jumlah korban akan bertambah. “Kami masih membuka ruang bagi korban lain untuk melapor,” katanya.
Modus yang digunakan tersangka adalah memanfaatkan relasi kuasa, jabatan, pengaruh, dan tipu daya. Tersangka diduga memberikan barang-barang kepada korban sebagai bentuk manipulasi.
Terpisah, anggota Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS), Joko Jumadi, menyebut dugaan kekerasan seksual ini terjadi sejak 2021 hingga 2024. Perbuatan cabul, seperti mencium dan meraba korban, sebagian besar dilakukan di lingkungan asrama kampus pada malam hari.
“Pelaku menggunakan posisinya sebagai kepala asrama untuk membangun citra sebagai sosok ‘ayah’ bagi para mahasiswi. Sayangnya, laporan awal korban ke pihak kampus tidak mendapat respons, bahkan terindikasi ada upaya menutup-nutupi kasus ini,” ungkap Joko. (mit)