Mataram (Suara NTB) – Meningkatnya ketegangan antara Iran dan Israel dikhawatirkan berdampak pada sektor pertanian di Indonesia, termasuk di Nusa Tenggara Barat (NTB). Salah satu dampak yang menjadi sorotan adalah potensi lonjakan harga pupuk berbahan baku impor seperti urea dan TSP.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) NTB, Sahminuddin, mengingatkan bahwa konflik geopolitik tersebut dapat mengganggu rantai pasok global, termasuk distribusi bahan baku pupuk. Sementara itu, para petani di NTB saat ini sedang memasuki masa tanam dan sangat membutuhkan pupuk dalam jumlah besar. “Bahan baku urea dan TSP sebagian besar diimpor. Jika perang terus berlanjut, distribusinya akan terganggu dan harga pupuk melonjak. Ini sangat menghambat petani untuk berproduksi,” ujar Sahminuddin, Senin, 23 Juni 2025.
Ia menambahkan, kondisi ini semakin mempersulit petani tembakau, terutama karena skema pembiayaan pupuk dari perusahaan mitra kini mulai diperketat. Dulu, perusahaan mitra bersedia memenuhi permintaan pupuk dari petani secara kredit. Namun, saat ini jumlahnya dibatasi, dan sisanya harus dibeli petani secara mandiri dengan harga komersial yang tinggi. “Kalau pupuk dari perusahaan kurang, otomatis petani harus beli sendiri. Itu pun pupuk komersial yang harganya sangat tinggi,” katanya.
Dalam kondisi ini, APTI NTB mendesak pemerintah untuk memaksimalkan pemanfaatan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT). Menurut Sahminuddin, dana tersebut seharusnya digunakan untuk mendukung kebutuhan pupuk dan pembiayaan produksi bagi petani. Tahun ini, NTB menerima alokasi DBHCHT hampir Rp650 miliar. “APTI meminta agar DBHCHT digunakan sesuai peruntukannya. Jangan dialihkan ke sektor lain seperti kesehatan atau bansos. Itu jelas menyalahi tujuan utama dana ini,” tegasnya.
Ia menilai DBHCHT seharusnya diarahkan ke dua sektor utama, yakni petani tembakau dan industri rokok, sebagai bagian dari ekosistem yang terdampak langsung oleh regulasi cukai. Pemerintah diminta lebih transparan dan berpihak pada sektor hulu agar keberlangsungan petani dapat terjaga di tengah lonjakan biaya produksi. “Kita bicara soal ketahanan pangan dan swasembada nasional. Tapi di lapangan, petani kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti pupuk. Pemerintah harus mengantisipasi ini sejak dini,” tambahnya.
APTI NTB juga mendorong pemerintah pusat dan daerah untuk membuka ruang dialog dengan petani dan menyusun langkah konkret agar mereka tidak menjadi korban dari situasi global yang tidak mereka ciptakan. “Kalau tidak diantisipasi dari sekarang, swasembada pangan dan keberlanjutan pertanian bisa terganggu,” pungkas Sahminuddin. (bul)