Selong (Suara NTB) – Realisasi pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB) Lombok Tinur (Lotim) memasuki bulan Oktober ini baru mencapai Rp 4,9 miliar dari target Rp 22 miliar lebih. Dari semua item pajak, perolehan dari MBLB ini disebut paling susah karena banyak hambatan.
Demikian disampaikan Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Lotim menjawab Suara NTB via telepon, Senin 6 Oktober 2025. Menurutnya, penyebab utamanya adalah minimnya proyek pembangunan fisik pemerintah dan swasta.
Aktivitas pengiriman hasil tambang galian C seperti pasir dan batu apung juga sangat minim ke luar daerah. Pengiriman lewat dermaga Kayangan dan Labuhan Haji selama kurun waktu 2025 tidak ada yang berjalan.
Kebijakan pemerintah melakukan efisiensi anggaran diakui menyebabkan banyak proyek tak bisa dikerjakan. “Larinya kan ke proyek semua,”” ungkapnya.
Penarikan pajak dari kebutuhan rumah tangga tidaklah seberapa. Apalagi di dalam daerah tidak ada yang jalan. Sejauh ini, andalannya pengangkatan dari dam truk saja untuk memenuhi kebutuhan di luar Kabupaten Lotim.
Mengingat rendahnya realisasi pajak tersebut, Bapenda mencoba untuk optimalkan pergerakan penarikan pajak MBLB di wilayah Pringgabaya yang paling banyak potensinya. Penarikan item pajak lain juga terus digencarkan.
Kondisi lainnya yang membuat perolehan rendah karena 25 persen masuk ke provinsi mulai tahun 2025. Itu aturan opsen, di mana pajak MBLB di Kabupaten/Kota termasuk Lotim masuk 25 persennya menjadi sumber PAD pemerintah provinsi.
Target yang besar Rp 22 miliar diakui akan sangat berat. Karena itu perlu optimalkan potensi lain agar bisa mencapai target keseluruhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Lotim. Antara lain pajak kendaraan bermotor, pajak reklame dan jenis pajak lainnya.
Kritik dari Peneliti LRC, Dr. Maharani sebelumnya menerangkan Lotim miliki 171 lokasi tambang yang seharusnya bisa meraup PAD sebesar Rp 18 miliar. Realisasi hanya Rp 5 miliar jelas sangat minim dan perlu dipertanyakan kemana arahnya.
Menjawab hal ini, Muksin menyampaikan lokasi tambang galian c yang ditarik pajak tidak sampai 171. Apalagi sebagian besar ilegal. Catatan Bapenda yang resmi hanya 21. Adapun yang beroperasi saat ini disebut sekitar 36 titik. Itupun tidaklah terlalu besar seperti tahun sebelumnya.
Tambang-tambang tradisional ini kadang buka dan tutup, sehingga tidak bisa menagih semua. Ketika permintaan material banyak, baru banyak yang bermunculan. “Sekarang ini tambang MBLB ini lagi diam, karena tidak adanya proyek dan pengiriman besar ke luar daerah,” terangnya. (rus)

