Giri Menang (Suara NTB) – DPRD Lombok Barat (Lobar) menyoroti beberapa item kenaikan belanja yang dinilai tak efektif, efisien, dan tak sesuai tempatnya dalam Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) RAPBD 2026.
Beberapa belanja tersebut di antaranya pegawai yang naik hingga Rp985 miliar dan barang jasa mencapai Rp612 miliar. Di satu sisi, belanja modal untuk rakyat Lobar justru dikorbankan dengan hanya dialokasikan Rp120 miliar. Turun hingga 60 persen dibanding tahun ini. Hal ini menjadi titik persoalan yang menyebabkan pembahasan KUA PPAS deadlock.
Dewan pun meminta KUA PPAS dirombak. Anggota Banggar DPRD Lobar Fauzi menerangkan bahwa belum ada kesepahaman pembahasan KUA PPAS antara legislatif dan eksekutif. Pasalnya ia menilai draf anggaran yang diajukan tidak efektif, tidak efisien, dan mengorbankan pembangunan masyarakat demi belanja rutin.
Sorotan paling utama Banggar ditujukan pada pos Belanja Pegawai (Bapeg). Dalam APBD Lobar yang diproyeksikan sekitar Rp1,995 triliun, Bapeg mencapai Rp985 miliar untuk tahun 2026. Angka ini setara dengan 48 persen dari total APBD, jauh melampaui batas maksimal 30 persen yang ditargetkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) tercapai pada tahun 2027.
Kenaikan Bapeg ini dipertanyakan, terutama karena tidak sebanding dengan kondisi faktual. Realisasi Bapeg tahun 2024 adalah Rp 880 miliar, dan kenaikan wajar di tahun tersebut dapat dimaklumi karena adanya pengangkatan 245 PPPK dan 79 ASN baru. Namun, proyeksi kenaikan menjadi Rp 985 miliar pada 2026 dinilai tak logis, lantaran ada sekitar 445 pegawai yang pensiun pada 2024 dan 2025.
“Kenaikan ini tidak mungkin jauh jomplang, apalagi ada ratusan pegawai yang pensiun. Kami menemukan data bahwa Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) selalu ada di Belanja Pegawai setiap tahun. Contohnya Rp 40 miliar di 2023 dan Rp 31 miliar di 2024. Ini menunjukkan cara pengelolaan keuangan yang salah, karena seharusnya dana dibelanjakan untuk perputaran ekonomi, bukan menjadi ‘tabungan-tabungan’ yang mengendap.” terang Anggota Fraksi PKB Fauzi, Kamis (23/10/2025).
Politisi PKB pun meminta agar cara penyusunan anggaran diubah secara mendasar untuk mengatasi inefisiensi yang rutin terjadi. Ketidakseimbangan alokasi juga terlihat jelas pada pos Belanja Barang dan Jasa (BBJ). Anggaran BBJ naik dari Rp 595 miliar (Anggaran Murni 2025) menjadi Rp 612 miliar (KUA PPAS 2026), menunjukkan peningkatan sebesar Rp 17 miliar. Peningkatan ini dianggap paradoks karena terjadi di tengah pemotongan anggaran Belanja Modal, dan disinyalir turut mengorbankan nasib pegawai honorer.
Sementara itu, Asisten II Setda Lobar sekaligus anggota TAPD H. Akhmad Saikhu mengatakan pembahasan KUA PPAS dijadwalkan ulang karena beberapa yang perlu dibahas lagi. “Memang sorotan dari dewan terkait belanja pegawai, BTT, artinya ini belum disepakati saat rapat, nanti tunggu jadwal (pembahasan ulang),” kata Saikhu.
Terkait belanja pegawai dan belanja barang jasa yang jomplang dengan belanja modal, kata Saikhu, diketahui penurunan TKDD, sehingga yang diutamakan dalam penganggaran belanja wajib yakni gaji pegawai. Setelah itu terpenuhi baru ke belanja lainnya. (her)

