spot_img
Sabtu, November 15, 2025
spot_img
BerandaNTBLOMBOK TIMURRumah Panggung Nelayan Terancam Punah

Rumah Panggung Nelayan Terancam Punah

Selong (Suara NTB) – Warisan arsitektur tradisional berupa rumah panggung di kawasan pesisir Kabupaten Lombok Timur (Lotim) perlahan-lahan terancam hilang. Fenomena ini salah satunya terjadi di Dusun Mandar, Desa Seruni Mumbul, Kecamatan Pringgabaya, di mana rumah-rumah panggung nelayan kini banyak yang telah berganti menjadi rumah beton.

Kepala Desa Seruni Mumbul, Tadjuddin MS kepada Suara NTB, Jumat, 31 Oktober 2025 mengakui terjadinya pergeseran ini.

Menurutnya, seiring waktu, warga kesulitan mendapatkan bahan baku kayu. Selain itu, membangun rumah beton dirasa lebih nyaman. Meski diakui lebih rendah dari rumah panggung, tapi dari sisi biaya dianggap jauh lebih murah dibandingkan rumah panggung.

Banjir rob ini memang selalu terjadi setiap bulannya. Yakni biasanya lima hari dalam sebulan saat tanggal bulan purnama. Ketinggian banjir rob ini rata-rata 1 meter.

Banjir rob ini disebutkan kerap melanda Dusun Mandar dan sebagian Dusun Berang Tapen, yang mencakup sekitar 100 Kepala Keluarga (KK). Musibah ini terjadi setiap bulan, dengan intensitas lebih tinggi saat purnama, bahkan memaksa sebagian warga mengungsikan barang-barangnya.

Hal senada dikemukakan Wakil Ketua BPD Desa Seruni Mumbul, Muhammad Saleh. Dia katakan, banjir rob di pesisir Seruni Mumbul bukanlah hal baru. “Bukan hal baru, jadi masyarakat sudah terbiasa menghadapinya,” tuturnya.

Untuk mengatasi rob, pemerintah sebelumnya telah membangun tanggul pada tahun 2007 sepanjang satu kilometer. Namun, infrastruktur ini dinilai sudah tidak memadai. Warga pun meminta tanggul tersebut diperbaiki untuk memberikan perlindungan yang lebih maksimal.

Dengan zaman yang sudah modern dan pertimbangan praktis, warga kini beralih ke rumah beton. Hanya tersisa sekitar 20 hingga 25 unit rumah panggung yang masih bertahan, sebagian besar terpusat di RT 2 dan RT 6 Dusun Mandar.

Bahkan, rumah panggung yang bertahan pun beradaptasi. Beberapa warga memilih membangun rumah panggung permanen dengan lantai dua karena ketinggian banjir rob bisa mencapai satu meter.

“Kalah kayu sama kerangka baja,” ujarnya, menggambarkan salah satu alasan peralihan material bangunan.

Selain faktor bahan baku kayu yang sulit didapat, seperti kayu dari Kalimantan, ketahanan material modern menjadi pertimbangan utama.

Dampak dari banjir rob ini tidak main-main. Aktivitas ekonomi warga, seperti menjemur ikan, terhambat. Lingkungan menjadi kotor akibat genangan air dan sampah yang berserakan. Meski bukan hal baru dan masyarakat sudah mampu mengantisipasinya dengan membersihkan lingkungan usai banjir, masalah ini tetap menjadi tantangan berulang.

Keadaan ini pernah mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah, dengan kunjungan tinjauan langsung dari Bupati Lotim saat itu, Sukiman. Namun, hingga kini, solusi permanen untuk masalah banjir rob dan pelestarian rumah panggung sebagai cagar budaya masih dinantikan.

Sebelumnya, Kepala Stasiun Klimatologi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) NTB, Nuga Putrantijo sangat menyayangkan hilangnya rumah panggung di pesisir. Menurutnya, rumah panggung ini merupakan bentuk kearifan lokal masyarakat untuk antisipasi banjir rob yang selalu datang.

Banjir rob ini diakui memang tidak sedahsyat tsunami yang menyapu semua yang dilewati. Tsunami terjadi karena gempa. Beda dengan rob yang terjadi setiap bulan saat bulan purnama. Meski begitu, kemunculan banjir rob ini harusnya diwaspadai. Pasalnya, akan membuat lingkungan tergenang hingga beberapa hari. (rus)

IKLAN







RELATED ARTICLES
- Advertisment -






VIDEO