Sumbawa Besar (Suara NTB) – Pemkab Sumbawa mendorong adanya perubahan regulasi terkait upaya penarikan retribusi yang dilakukan oleh daerah dari beberapa sektor unggulan. Perubahan itu sebagai upaya pemerintah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
“Semenjak Perda nomor 20 tahun 2001 dicabut, daerah otomatis tidak mendapatkan apa-apa dari sektor unggulan seperti produk hasil pertanian, kelautan perikanan temasuk peternakan,” kata Kepala Bappelitbangda Sumbawa, Dr. Deddy Heriwibowo, kepada wartawan, Senin, 3 November 2025.
Sebelumnya pemerintah memiliki keleluasaan daerah untuk melakukan pemungutan berupa pajak pengiriman ke luar daerah. Jadi, daerah mengumpulkan data produksi yang dikirim ke luar daerah sekaligus mengambil pajak dan retribusinya dari sektor tersebut.
“Penarikan yang dilakukan tidak besar dari masing-masing komoditas seperti Udang sebesar 2,5 persen, rumput laut 2,5 persen, sapi 1 persen dan ikan hasil tangkapan 5 persen,” ujar Deddy.
Deddy meyakinkan, pada prinsipnya pemerintah sangat berharap agar Perda tersebut bisa diberlakukan kembali demi kemandirian fiskal daerah. Jika tidak, maka komoditas unggulan daerah tersebut tidak akan memberikan kontribusi maksimal terhadap peningkatan PAD.
“Jujur saja, nilai produksi dari sektor unggulan daerah tersebut sangat signifikan tetapi belum berkontribusi maksimal terhadap pendapatan dan belanja daerah,” akunya.
Berdasarkan data lanjut nya, nilai produksi dari sejumlah komoditas unggulan daerah yang keluar dari Sumbawa mencapai Rp20,06 triliun. Angka tersebut belum termasuk komoditas lainnya yang meninggalkan dampak eksternalitas (kerusakan air laut, degradasi lingkungan, kerusakan fasilitas umum, konflik sosial).
“Angka tersebut kami anggap sangat besar jika bisa dikelola oleh daerah, tetapi kenyataannya kekayaan tersebut tidak memberikan insentif bagi Sumbawa,” terangnya.
Dia merincikan, seperti komoditas unggulan dari hasil budi daya udang vaname dengan nilai produksi rata-rata Rp10.163.825.000.000, dengan tarif pajak 2,5 persen. Maka daerah bisa mendapatkan nilai PAD sebesar Rp254.095.625.000.
Hasil dari budi daya rumput laut dengan nilai produksi rata-rata Rp2.370.311.683.333, dengan tarif pajak 2,5 persen. Maka daerah akan mendapatkan nilai PAD sebesar Rp59.257.792.083,
Hasil pertanian jagung pipilan kering dengan nilai produksi rata-rata Rp2.942.671.437.488, dengan tarif pajak 2 persen maka daerah mendapatkan nilai PAD sebesar Rp58.853.428.750. Hasil pertanian padi dengan nilai produksi rata-rata Rp1.577.854.112.520, dengan tarif pajak 2 persen daerah mendapatkan nilai PAD sebesar Rp31.557.082.250.
Hasil ternak sapi hidup dengan nilai produksi rata-rata Rp2.097.734.350.000, dengan tarif pajak 1 persen maka daerah bisa mendapatkan PAD sebesar Rp20.977.343.500. Hasil pertanian bawang merah dengan nilai produksi rata-rata Rp827.842.129.125 dengan tarif pajak 2 persen maka daerah mendapatkan PAD sebesar Rp16.556.842.583.
Hasil perkebunan kopi dengan nilai produksi rata-rata Rp81.225.000.000, dengan tarif pajak 2 persen maka daerah mendapatkan nilai PAD sebesar Rp1.624.500.000. Termasuk juga ikan hasil tangkap dengan nilai produksi rata-rata sebesar Rp395.115.350.000, dengan tarif pajak 5 persen maka daerah bisa mendapatkan PAD sebesar Rp19.755.767.500.
“Jadi, dari delapan komoditas unggulan itu dengan total nilai produksi rata-rata sebesar Rp20.456.579.062.456 maka daerah bisa mendapatkan PAD sebesar Rp462.678.381.666,” terangnya.
Deddy menambahkan, dengan kemandirian fiskal daerah tersebut maka persoalan yang saat ini masih dihadapi pemerintah bisa diselesaikan. Seperti kualitas infrastruktur belum memadai, angka kemiskinan masih di 12 persen dan pendapatan perkapita dibawah nasional.
“Kami yakin jika hasil kekayaan alam tersebut bisa kita kelola secara maksimal maka persoalan dan kendala yang kita hadapi saat ini bisa kita selesaikan,” tukasnya. (ils)

