Masih maraknya kasus pemberangkatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal di Lombok Barat (Lobar) diduga dipicu sejumlah persoalan. Salah satunya, praktik iming-iming oleh oknum calo atau tekong. Iming-iming yang diberikan berupa uang Rp3 juta kepada PMI serta keluarga. Keluarga PMI juga diberikan uang Rp10 juta.
“KOPER diberikan baru, calon PMI diberikan uang Rp3 juta, suaminya (keluarga) diberikan Rp10 juta,” ungkap Kepala Dinas Tenaga Kerja Lobar Lalu Martajaya, kemarin.
Dengan dijanjikan cepat berangkat dan iming-iming uang warga pun termakan sehingga berfikir singkat mau diberangkatkan. Tidak tanggung-tanggung yang menjadi korban bukan warga biasa saja namun ada juga anak kepala desa dan istri dari perangkat desa di wilayah Lobar.
Di satu sisi masyarakat enggan melalui proses pemberangkatan legal sesuai prosedur. “Masyarakat ini tidak mau sabar, padahal kan kalau berangkat jalur resmi ada tahapan dilalui, ada pelatihan dan lainnya, kalau yang gelap, ada paspor berangkat sudah,” kata dia.
Modusnya, kalau tidak bisa terbit paspornya di Lobar, mereka pindah berangkat lewat Jawa dan Sumbawa.
Dampak jika berangkat ilegal tentu merugikan PMI dan keluarganya. PMI yang berangkat legal, kalau terjadi apa-apa di luar negeri seperti meninggal akan mendapatkan hak-hak nya. Seperti sisa gaji, BPJS Ketenagakerjaan, asuransi dari perusahaan di negara tempatnya bekerja yang dibayar tidak sekaligus tapi dibayarkan per bulan selama ahli waris masih hidup. “Itu lebihnya kalau berangkat resmi (legal),” terangnya.
Pihaknya sering memberikan edukasi kepada masyarakat, termasuk ketika terjadi kejadian PMI yang meninggal di luar negeri. Pihaknya memberikan pemahaman kepada masyarakat terhadap kejadian PMI yang berangkat legal dan ilegal.
Dari datanya, sebanyak 15 PMI Lobar meninggal di luar negeri, baik itu Malaysia, Arab Saudi maupun negara lainnya. Kebanyakan PMI yang meninggal tersebut, berangkat secara unprocedural atau ilegal. Tahun lalu terdapat 13 orang PMI yang meninggal. “Ada dua kasus (PMI meninggal) tahun ini, Tahun lalu ada 13 orang. Kita tetap turun edukasi, seperti saat ada kejadian (kasus) Kita edukasi langsung,” terang Martajaya.
Dari 15 kasus kejadian PMI meninggal ini terbesar di beberapa kecamatan, seperti Kediri, Bagik Polak, Lembar, Lingsar. Rata-rata PMI yang meninggal kebanyakan yang ilegal. Namun pemerintah tetap mengurus kalau terjadi kejadian meninggal, hanya saja tidak bisa dipaksakan diberikan hak-haknya. (her)