Mataram (Suara NTB) – Kejaksaan Negeri (Kejari) Bima melimpahkan berkas perkara dua tersangka kasus dugaan korupsi dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank BNI Kantor Cabang Pembantu Woha, Bima ke Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Jumat, 4 Juli 2025.
Dua tersangka dalam kasus ini adalah Arif Rahman (AR) selaku pegawai BNI KCP Woha dan Direktur PT Al Isra, Asrarudin (ASR).
Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Kejari Bima, Catur Hidayat menyebutkan, dalam pelimpahan berkas perkara itu, satu tersangka yakni Asrarudin dilimpahkan secara in absentia atau tanpa kehadiran.
Sebelumnya Asr telah dimasukkan ke dalam daftar pencarian orang (DPO) setelah dua kali mangkir dari panggilan pemeriksaan dan tidak dapat ditemukan saat upaya penjemputan paksa oleh pihak Kejari Bima.
Catur menyebut bahwa ketidakhadiran Asr justru akan merugikan dirinya sendiri, karena ia tidak akan memiliki kesempatan untuk membela diri di hadapan majelis hakim. Hal ini diyakini akan menjadi pertimbangan penting dalam putusan hukum terhadapnya.
Dia juga menjelaskan bahwa upaya pencekalan terhadap Asr telah dilakukan dengan koordinasi pihak terkait. “Kejaksaan Agung telah resmi mengeluarkan surat pencekalan untuk mencegah yang bersangkutan bepergian ke luar negeri selama proses hukum berlangsung,” katanya.
Upaya penjemputan Asr dilakukan oleh Kejari Bima bersama Polsek Bolo, Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), dan kepala desa setempat pada Jumat (2/5/25). Namun, Asr tidak ditemukan di rumahnya dan hanya ibu Asr yang berhasil ditemui. Ibu Asr mengungkapkan bahwa anaknya sudah lama tidak berkomunikasi dengan keluarga, bahkan sebelum Asr ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus KUR BNI.
Diketahui, AR dan ASR masing-masing disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Keduanya juga disangkakan dengan Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP untuk sangkaan tambahan.
Audit yang dilakukan oleh Inspektorat Kota Bima dalam kasus ini mengungkap adanya kerugian negara sebesar Rp450 juta.
Sebagai informasi, kasus ini bermula ketika sembilan orang warga Desa Tampe Kecamatan Bolo, mengajukan pinjaman KUR di BNI KCP Woha, masing-masing sebesar Rp50 juta untuk program pertanian jagung pada tahun 2021. Pengajuan pinjaman KUR tersebut dilakukan secara kolektif melewati seseorang berinisial AA yang kemudian diserahkan lagi kepada seorang warga Desa Rasabou, inisial Y.
Setelah dokumen pengajuan diserahkan, para nasabah diminta datang ke kantor BNI KCP Woha untuk menandatangani akta kredit. Pihak bank kemudian memberikan buku rekening dan kartu ATM kepada mereka. Namun, Y meminta kembali buku rekening dan kartu ATM tersebut dengan alasan dana pinjaman masih dalam proses pencairan.
Meskipun telah menunggu cukup lama, dana KUR yang diajukan tersebut tak kunjung mereka terima. Mereka baru menyadari adanya kejanggalan saat mengajukan pinjaman di bank lain dan diberitahu bahwa mereka tercatat memiliki utang sebesar Rp50 juta di BNI KCP Woha. (mit)