Mataram (Suara NTB) – Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) melalui Pusat Pembiayaan dan Asesmen Pendidikan Tinggi (PPAPT) memangkas besaran biaya pendidikan program Indonesia Pintar Pendidikan Tinggi untuk penerima baru 2025/2026.
Pemangkasan tersebut lantas mendapat komentar dari sejumlah kampus, terutama di Mataram. Pasalnya, pemangkasan besaran biaya tersebut dipastikan akan membebani kampus. Khususnya, kampus dengan akreditasi unggul.
Dalam lampiran Surat Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran PPAPT Kemendiktisaintek Nomor: 1006/F2/KU.09.00/2025 disebutkan bahwa nominal besaran biaya KIP 2025/2026 untuk akreditasi A/unggul di angka Rp10 juta (kedokteran), Rp5,5 juta (kesehatan), Rp5 juta (Saintek), Rp4,5 (Soshum).
Nominal tersebut terbilang turun drastis sebab, pada tahun-tahun sebelumnya di mana besaran biayanya dipukul rata sesuai akreditasi. Misalnya, akreditasi A/Unggul di angka Rp8 jutaan
Salah satu kampus yang mengomentari kebijakan tersebut adalah Universitas Muhammadiyah Mataram (Ummat). Wakil Rektor 3, Ummat, Dr. Erwin, M.Pd., pada Rabu 24 September 2025Â membenarkan adanya penurunan jumlah besaran biaya KIP-K.
Menurutnya, penurunan besaran biaya KIP-K ini akan berdampak kepada institusi perguruan tinggi. Pasalnya, kampus tidak diperbolehkan memungut biaya studi dari penerima beasiswa. Sementara, di satu sisi, anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk penerima KIP-K tidak sesuai dengan kebutuhan biaya studinya.
“Kalau angkanya mengalami penurunan maka perguruan tinggi berkewajiban untuk mensubsidi itu. Nah ini yang berat,” katanya.
Erwin menyampaikan, beban kampus tidak hanya di akreditasi A/Unggul, bahkan pada akreditasi C/Baik sekalipun, kampus masih terbebani. Sebab, nominal sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) di Ummat sendiri berada di angka Rp3-4 juta. Sementara, nominal yang diberikan pemerintah sebesar Rp 2,5 juta.
“Kalau Rp2,5 juta, itu ketentuannya tidak boleh dipungut selisihnya. Jadi kita terima Rp2,5 juta. Kalau dia selisih total biaya kuliahnya misalnya Rp3,9 juta, maka sisanya itu kita ikhlaskan,” ujar Erwin.
Dengan alasan tersebut, Ummat tidak berani mengalokasikan kuota KIP-K ke Prodi yang menuntut SPP yang lebih tinggi seperti Kesehatan dan memiliki akreditasi Baik Sekali. Sebab, selisih anggaran dari KIP-K dengan SPP yang tinggi.
Selain menjadi beban kampus, penurunan besaran biaya KIP-K ini akan berimplikasi kepada semangat universitas untuk meningkatkan akreditasi prodi. Â “Mestinya, akreditasi unggul itu kan mendapat penghargaan dari pemerintah. Sekarang orang berpikir ngapain kita kejar unggul, dapat KIP kuotanya sedikit,” jelasnya.
Tak hanya besaran biaya yang turun, jumlah kuota penerima KIP-K di Ummat juga mengalami degradasi. Erwin menyebut, jika pada tahun lalu, Ummat menerima kuota sebanyak 36 untuk tiga prodi akreditasi unggul. Sementara, untuk tahun ini dengan lima prodi unggul, Ummat hanya menerima 24 kuota.
“Jadi memang bukan hanya penurunan angka tadi, tapi jumlah kuota juga mengalami penurunan,” terangnya.
Dengan beban yang dialami kampus akibat pemangkasan besaran biaya tersebut, Erwin berharap pemerintah dapat kembali menormalisasi anggaran untuk penerima KIP-K. “Kalau bisa kita suarakan untuk menolak kebijakan ini, dan kita berharap pemerintah melakukan normalisasi sebagaimana biasanya,” tandasnya. (sib)


