WAKIL Ketua Komisi I DPRD Kota Mataram, Drs. HM. Zaini menyoroti ketidakjelasan pengaturan zonasi dalam Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal itu disampaikan dalam rapat pleno di ruang sidang DPRD Kota Mataram, Senin, 16 Juni 2025.
Zaini menekankan pentingnya kejelasan pembagian zona di Kota Mataram, seperti zona pendidikan, perdagangan, industri, serta zona campuran. Ia mempertanyakan apakah aturan dalam pasal-pasal Ranperda sudah secara tegas mengatur pembagian tersebut, mengingat selama ini banyak tumpang tindih fungsi lahan yang berujung pada risiko lingkungan dan konflik kepentingan.
“Adakah kejelasan di pasal-pasal yang mengatur zona pendidikan, zona perdagangan, industri, dan zona campuran? Karena yang kita lihat, justru zona campuran yang banyak menimbulkan risiko,” ujarnya.
Selain itu, mantan Ketua DPRD Kota Mataram ini juga menyoroti perubahan status zona hijau menjadi zona kuning yang dinilai berbahaya dan berpotensi mengancam kelestarian lingkungan hidup. Ia mencontohkan adanya perubahan zona di beberapa titik yang awalnya diperuntukkan sebagai ruang terbuka hijau, kini dialihfungsikan menjadi lahan pembangunan.
“Naturalisasi zona itu bahaya. Jangan sampai zona aman kita untuk hidup semakin habis. Ini harus dipresentasikan dengan data yang jelas,” kelakarnya.
Zaini mengungkapkan keprihatinan terhadap semakin menyusutnya luas lahan pertanian baku di Kota Mataram. Berdasarkan data, dari total kebutuhan lahan pertanian sekitar 1.500 hektare, kini hanya tersisa sekitar 300 hektare. Penyusutan ini dinilai berdampak besar terhadap kemampuan kota sebagai penyedia pangan, sebagaimana yang menjadi arahan Presiden RI.
“Dulu kota ini tidak dianggap sebagai penyedia pangan, tapi sekarang menjadi kewajiban kota juga untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Ini harus disinkronkan dengan kebijakan pusat,” katanya.
Zaini mempertanyakan keberadaan sanksi yang diatur dalam Ranperda terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang. Salah satu contoh kasus yang disebutkan adalah pembangunan di sempadan sungai, yang kerap terjadi tanpa pengawasan dan penegakan hukum yang tegas.
“Bagaimana status tanah di sempadan sungai? Apakah boleh dibangun? Apakah termasuk zona merah, kuning, atau hijau? Ini harus diatur dengan jelas agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari,” tambahnya.
Politisi Partai Demokrat ini menekankan perlunya penegasan dalam peraturan daerah mengenai batasan zona merah (rawan bencana), zona hijau (ruang terbuka), dan zona kuning (wilayah pengembangan). Menurutnya, celah-celah penafsiran dalam dokumen RTRW selama ini kerap dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan yang tidak berkelanjutan.
“Harapan kami, perda ini benar-benar menjadi pedoman yang tegas. Jangan sampai aturan dibuat hanya untuk mempermudah investasi tanpa mempertimbangkan aspek lingkungan dan keberlanjutan kota,” pungkasnya. (fit)